Perspektif – Nusalontar.com
Di pematang sawah, di kampung nun jauh dari riuhnya kebisingan kota, pria kurus itu berjalan antusias. Diiringi teriakan histeris puja – puji dari orang – orang yang mencintainya. Mereka mengelukannya.
Tak peduli kehujanan, tak takut disambar petir, tidak juga kuatir terjatuh karena licinnya pematang, pria penyayang itu melangkah perlahan tapi pasti menjumpai orang – orang yang menantinya di seberang.
Di tengah persawahan food estate Sumba Tengah Jokowi menabur harapan. Menumbuhkan benih – benih kehidupan. Menyuburkan semangat perjuangan melawan kemiskinan dan keterbelakangan.
‘Nanti Tuhan Tolong’, tapi sebelumnya kita harus berusaha. Kita mesti berjuang bersama. Barangkali begitu pesan yang ingin disampaikannya. Dan mereka yang mendapat pesan cinta itu menyambutnya dengan penuh semangat. Dengan kegembiraan yang meluap – luap.
Di video dan foto – foto yang beredar, di pemberitaan, apalagi di media sosial, rakyatnya tumpah ruah. Melambaikan tangan, berteriak histeris, para perempuan mengejar mobil yang ditumpanginya, para lelaki berusaha menembusi barisan para pengawal. Semua itu karena cinta.
Ya. Cinta. Cinta yang saling berbalas antara pemimpin dengan rakyatnya, antara rakyat dengan pemimpinnya. Cinta itu telah mengalahkan ketakutan pada covid-19. Membunuh kekuatiran pada kematian, karena melihat ada harapan akan kehidupan.
Rakyat tentunya senang akan adanya pembangunan di daerahnya. Rakyat pasti suka jika ada geliat perubahan di tanah kelahiran. Rakyat pasti bahagia kalau ada peningkatan taraf hidupnya, jika ada peningkatan ekonomi keluarganya.
Namun kehadiran Jokowi di Sumba Tengah dan Sikka kali ini telah melampaui hal – hal yang disebutkan itu. Histeria massa yang menyambutnya di tengah kekuatiran akan bahaya pandemi menunjukan ada kerinduan yang dahsyat akan kehadiran pemimpin di tengah masyarakat. Pemimpin yang berada persis di tengah – tengah persoalan yang dialami rakyatnya. Pemimpin yang tidak hanya berada di belakang meja.
Kehadiran Jokowi juga melampaui tugasnya sebagai penguasa yang mengatur tata kelola pemerintahan. Jokowi telah sampai pada perjumpaan kemanusiaan. Tidak lagi sekedar relasi kenegaraan, relasi kebangsaan, atau apalah namanya, bahkan Jokowi telah sampai pada relasi spiritual. Hadir karena cinta. Bukan sekedar hadir karena harus.
Pada titik itulah kita seharusnya belajar, bahwa menjadi pemimpin itu tidak sekedar memimpin dan mengatur, tapi harus sungguh – sungguh hadir dan mengalami situasi rakyat.
Jokowi telah menyusuri pematang waktu. Di ujung pematang, dia berjumpa dengan rakyat yang dicintai dan mencintainya. Pada perjumpaan itu ada simpul harapan terikat di sana. Tanda bahwa ada kesetiaan dan rasa saling percaya.
Terima kasih Jokowi untuk cintamu pada NTT.
Sebagai penutup, atas nama cinta, jangan lupa soal ganti rugi bagi pemilik lahan yang tanahnya telah diserahkan menjadi area bendungan. Juga, jangan lupa bahwa masih banyak daerah yang butuh perhatian, butuh kehadiranmu.
Salam hormat ke Jakarta!
NusaLontar