Kartini, Perempuan, dan Dapur

Kartini
Kartini

Warung KopiNusalontar.com

Dulu (mungkin hingga sekarang), ada ungkapan yang kurang disukai perempuan, “Perempuan itu biar sekolah tinggi, tempatnya tetap di dapur juga”.

Bacaan Lainnya

Pernyataan itu setidaknya menimbulkan tiga implikasi. Pertama, banyak orang tua (di kampung waktu itu) enggan menyekolahkan anak perempuannya ke jenjang yang lebih tinggi, toh jatuhnya ke “tukang masak” juga. Kedua, dapur kemudian mendapat stigma yang agak ‘negatif”. Ketiga, perempuan kemudian menjadi subordinat, kelompok yang selalu berada di bawah bayang-bayang lelaki.

Implikasi pertama sudah kurang terasa kini. Sekarang para orang tua beramai-ramai menyekolahkan anaknya, tak peduli lelaki atau perempuan.

Implikasi yang ketiga saya kira masih terasa, setidaknya secara paradigma-tis. Sepertinya masih banyak lelaki yang secara konseptual masih menganggap perempuan sebagai kaum kelas dua. Jika saya keliru, maka terpujilah Tuhan.

Tapi, di hari Kartini ini saya lebih tertarik membahas Dapur.

Dulu, waktu masih ngajar Ende, kepala sekolah kami yang tegas tapi memiliki hati yang lembut dan penuh welas asih itu selalu menekankan pentingnya menjaga kualitas kerja bagian Kurikulum dan Tata Usaha atau administrasi sekolah karena itu adalah ‘Dapur’-nya sekolah. Dapur dalam artian posisinya sangat strategis dan menjadi sumber aneka informasi dan data sekolah.

Dalam konteks yang lebih umum, Dapur, dalam segala jenisnya, memang sangat penting. Dan perempuanlah penjaga dapur itu. Perempuan bahkan menjadi simbol dari dapur itu sendiri, tempat makanan diramu dan diolah menjadi nutrisi dan asupan gisi, sehingga yang makan bisa sehat, juga cerdas. Perempuanlah penjaga Dapur itu, sehingga anak-anak bertumbuh dalam kasih dan perhatian yang murni.

Dapur adalah simbol kebahagiaan dan kesejahteraan, hal paling pertama yang ingin kita isi dengan hasil kerja kita tiap hari, sebelum kita berpikir hebat untuk aktualisasi diri dan tujuan-tujuan mulia yang lain.

Dapur itu sangat simbolis dan filosofis. Jangan pernah meremehkan dapur dalam pengertian sebenarnya maupun secara simbolis. Karena dari dapur dan para ibu yang setia menjaganyalah kita semua menjadi sehebat ini.

Menjadi Kartini jaman ini bahkan lebih sulit. Tidak mudah menjadi perempuan karier sekaligus ibu yang welas asih dan isteri yang perhatian pada saat yang bersamaan. Tapi itulah tuntutannya.

Jangan salah memahami emansipasi. Jangan sampai emansipasi menjadi alasan ketika anak dan suami menjadi tiri. Pahamilah emansipasi sebagai hak ke-tulang rusuk-an yang harus dipenuhi oleh si pemilik tulang rusuk itu sendiri.

Tak ada yang lebih hebat dari istri yang bisa menjaga Dapur-nya dengan baik, dengan kesadaran penuh bahwa itu bukanlah intimidasi, tapi tanggung jawab yang sudah menjadi takdir.

Salam hormat untuk para perempuan hebat di dunia maupun di surga!

Selamat hari Kartini.

(Joe Rhada)

Pos terkait