INSPIRASI – NUSALONTAR.COM
Di tengah hiruk-pikuk kegiatan Expo Ekonomi Kreatif (Ekraf) yang diselenggarakan Komite Ekraf NTT bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) NTT (29 Juni – 02 Juli 2021), tiba-tiba ada yang menawarkan sesuatu ke saya. “Kakak mau kenakan aksesoris ini untuk foto-foto?” Tanya pria itu sembari menunjuk aksesoris khas Alor yang sedang dipajang di gerai Pondok Kreatif Margeta miliknya.
“Boleh,” jawab saya, lalu membiarkan pria muda itu mengenakan pakaian adat Alor lengkap dengan aksesoris hasil karyanya ke tubuh saya. Setelah selesai mengenakan pakaian dan aksesoris khas Alor itu, saya meminta seorang teman wartawan untuk memotret.
Hasilnya luar biasa. Saya merasa gagah sekali mengenakan pakaian itu. Ada topi khas Alor yang ada renda bulu ayamnya, ada parang yang juga ada hiasannya terselip di pinggang, juga busur lengkap dengan anak panah. Saya merasa seperti panglima yang siap untuk berperang.
Karena hari sudah sore, dan para peserta Expo Ekraf berkemas untuk menutup gerainya, usai foto-foto, kami tak punya cukup waktu untuk ngobrol lebih lama. Selain mereka harus bersih-bersih lokasi Expo sebelum menutup kegiatan hari itu, saya juga harus kembali ke rumah.
Sebelum pamit, saya mengucapkan terima kasih karena sudah diperbolehkan untuk mengenakan busana khas Alor itu untuk foto-foto, dan berjanji untuk menemuinya jika ada waktu yang pas.
Namanya Lewi Braklel Tangwal
Beberapa hari setelah kegiatan Expo Ekraf NTT, saya dan teman wartawan -yang pada kegiatan Expo Ekraf jadi fotografer saya saat saya mengenakan pakaian adat Alor itu- membuat janji temu dengan sang pengrajin aksesoris khas Alor. Kami sepakat bertemu di hari Rabu (07/07/2021) di kediamannya.
Teman saya lebih dahulu tiba di sana. Ketika saya datang mereka menyambut saya dengan ramah. Tiga gelas kopi menjadi penyemangat obrolan yang tepat.
Pria yang kami temui bernama Lewi Braklel Tangwal. Akrab disapa Lewi atau Le. Asli kelahiran Alor, tapi sejak tamat SMA (tahun 2008) hijrah ke Kupang karena ingin jadi prajurit TNI. Gagal menjadi Tentara, Lewi ikut pelatihan security. Setelah lulus pelatihan Lewi bekerja di beberapa perusahaan, sebelum akhirnya menjadi security di Ramayana Mall.
Lewi berkisah, ketertarikannya untuk membuat aksesoris khas Alor berawal ketika pada sebuah kesempatan, mereka sangat kesulitan mencari aksesoris khas Alor untuk sebuah pementasan, padahal waktu itu mereka sangat butuh. Sejak saat itu (kira-kira tahun 2017) dirinya bertekad untuk menggeluti dunia kebudayaan Alor dengan membuat aksesoris khas Alor, supaya pada saat dibutuhkan, mereka tidak kesulitan lagi.
Pria yang tinggal bersama isterinya di RT 11, RW 4, Kelurahan Maulafa, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang itu mengungkapkan, sejak dirinya mulai membuat aksesoris khas Alor, ada banyak sekali tawaran yang datang padanya. Ada tawaran untuk membeli aksesoris hasil karyanya, juga tawaran manggung dalam hajatan-hajatan atau even-even yang diselenggarakan oleh pemerintah, komunitas, maupun pihak gereja.
Banyaknya tawaran itu membuat Lewi berinisiatif untuk membentuk sanggar sendiri, selain sanggar yang dibentuk oleh orang lain tapi sering dipakainya untuk mengisi berbagai acara.
Pondok Kreatif Margeta
Aneka tawaran yang datang membuat Lewi menggagas terbentuknya Pondok Kreatif Margeta. Dengan Pondok Kreatif Margeta-nya Lewi mulai mengeluarkan segenap kemampuan yang dimiliki. Mulai dari kemampuan untuk menghasilkan aneka aksesoris khas Alor yang cantik dan menarik. Lewi juga membentuk sanggar untuk mementaskan aneka tarian khas Alor sebagai warisan leluhur.
Telah tertanam kuat dalam benak anak muda itu bahwa dirinya mesti menjaga kearifan lokal yang telah diwariskan oleh para leluhurnya.
“Biasanya, selesai pentas, saya rasa bunyi gong selalu terngiang di telinga saya. Kadang seminggu baru benar-benar hilang. Mungkin karena saya sudah sangat menyatu dengan segala peralatan, dengan segala aksesoris, dengan segala budaya Alor yang coba saya jaga dan saya kembangkan ini, makanya kadangkala saya merasa ada semacam kekuatan berbeda yang keluar dari dalam diri saya ketika sedang tampil dalam sebuah pementasan, bahkan juga setelah tampil,” tuturnya.
Dengan peralatan seadanya, dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, Lewi berusaha melakukan apa yang dia bisa. Mengerjakan aksesoris, melatih sanggar, bahkan tampil dalam pementasan, semuanya dipelajari secara otodidak. Ketika ditanya apakah dirinya mempelajari itu semua saat duduk di bangku sekolah, Lewi menjawab, “Saya belajar dari youtube.”
Lewi Butuh Perhatian
Melihat semangatnya yang menggelora di tengah keterbatasan, saya yakin Lewi butuh bantuan. Lewi butuh campur tangan pemerintah untuk melangkah lebih jauh, tenggelam lebih dalam lagi dalam lautan kreatifitas yang sudah amat dicintainya itu. Lewi butuh dorongan dari orang-orang yang lebih paham soal kebudayaan Alor dengan segala hal yang melingkupinya.
Dalam situasi pandemi, di tengah melakoni pekerjaan pokoknya sebagai Satpam, Lewi tetap bertekun melaksanakan niatnya untuk menjaga kekhasan Alor dengan merawat kebudayaannya itu.
“Apa yang saya lakukan ini mungkin bukan pekerjaan yang besar. Tapi saya bangga dan bahagia karena bisa mengambil bagian dalam usaha untuk menjaga warisan budaya Alor. Saya memang tidak bisa melakukan banyak hal, tapi saya akan bertekun untuk melakukan apa yang bisa saya lakukan,” ujarnya bangga.
Lewi tidak pandai berkata-kata. Apa yang saya tulis di sini adalah rangkuman dari obrolan ‘ngalor-ngidul’ kami saat menikmati kopi sore. Tak terasa senja kian redup seakan mengajak kami untuk mengucapkan kata pisah.
Kopi telah habis diseruput. Sempat pula kami berfoto-foto mengenakan aksesoris hasil karya Pondok Kreatif Margeta. Sebelum kami pamit Lewi berbisik, “Kakak, saya titip nomor handphone. Selipkan nomor ini jika kakak berniat menulis hasil obrolan kita tadi.”
Saya hanya tersenyum dan mengangguk perlahan.
Jika ada yang butuh aksesoris khas Alor, peralatan sanggar, pementasan, dll, bisa hubung nomor HP: 081355600289, atas nama: Lewi Tangwal.
Penulis: Joe Radha