Ragukan dan Pertanyakan Predikat WTP, Ini Alasan Fraksi PDIP Lembata

 

NUSALONTAR.COM

Bacaan Lainnya

LEMBATA – Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) telah memproses pembahasan Rancangan Perda (Ranperda) tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Daerah (PPAPBD) Kabupaten Lembata Tahun Anggaran (TA) 2020.

Terhadap hal tersebut, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memberikan apresiasi secara khusus kepada Banggar DPRD Lembata yang telah meramu pembahasannya sembari berharap agar Pemerintah Daerah (Pemda) dapat menerima dan segera merespon segala hal yang termaktub dalam pendapat Banggar dengan semangat TAAN TOU, demi kemajuan Lembata dan kesejahteraan rakyatnya.

Terhadap keseluruhan Ranperda PPAPBD Kabupaten Lembata Tahun 2020, Fraksi PDI Perjuangan memberikan beberapa catatan, termasuk meragukan dan mempertanyakan predikat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberikan kepada Kabupaten Lembata.

Berikut kutipan lengkap catatan Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Lembata pada Rapat Paripurna pembahasan Ranperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Daerah Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2020, yang dibacakan oleh anggota Fraksi PDIP, Marianus Gabriel Pole Raring (Gabriel Raring) pada Sabtu 31 Juli 2021:

1. Penilaian WTP untuk Lembata tidak sepenuhnya objektif jika dibandingkan dengan realitas sosial-empirik, juga progres pencapaian pendapatan dan biaya dibanding rencana yang mestinya jadi pengecualian kewajaran. Ratio Numeratif antara target versus realisasi mempertanyakan sekaligus meragukan klaim WTP.

2. Ada banyak hal yang masuk dalam kategori: Over Spending, Mis Spending, Under Spending, dan Fraud Spending. Terhadap hal ini, mestinya tidak cukup meminta dan mendapatkan jawaban apriori tapi harus dengan pembuktian posteriori. Mengingat ada banyak aset yang masuk dalam klasifikasi Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP) bahkan jadi aset mati dari rencana untuk jadi sumber daya produktif, baik untuk pelayanan kepada masyarakat maupun sebagai sumber yang berkontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD).

3. Perlu ada proses keputusan per-kasus untuk ditindaklanjuti dan kemudian dilihat progresnya per-kasus pula agar tidak berhenti dengan gelar sidang tanpa komitmen tindak lanjut. Hal ini sejalan dengan prinsip “true is good but control is better“. WTP itu ‘good‘ tapi selama banyak realitas bermasalah maka Lembata tidak akan menjadi ‘better‘, alias lebih baik hanya karena WTP.

4. Fraksi PDIP merasa Banggar DPRD kurang ngotot. Hanya sebatas meminta informasi dan penjelasan dari TAPD. Mestinya TAPD dievaluasi kinerjanya secara objektif berbasis pencapaian anggaran. Contoh, biaya makan minum miliaran rupiah namun produktifitas tidak berbanding lurus, malah berbanding terbalik. Ini masuk dalam kategori ‘mis spending’, yang berarti kontra produktif. Apalagi belanja makan minum miliaran rupiah di musim pandemi. Kerja kurang tapi makan tetap banyak, sementara rakyat sedang susah. Makan banyak tetapi kerja kurang itu yang namanya kontra produktif secara ekonomis. Sedangkan secara sosial sama dengan abai akan solidaritas.

5. Iklim kerja birokrasi dan mitra kerja sangat dipengaruhi oleh paham dan gaya ‘top leader‘, dan berpengaruh langsung terhadap proses dan hasil. Kesadaran struktur dan kepatuhan pada regulasi adalah bagian dari tata kelola internal selain integritas, kompetensi, dan komitmen sebagai aspek tata kelola personal. Fraksi PDIP mempertanyakan: Sejauh mana hal-hal itu melandasi kerja birokrasi dan bukan ABS (asal bapak senang) atau takut karena ada ‘conflict of interest’?

6. Proyek-proyek yang dibangun tapi belum dimanfaatkan harus dianggap belum 100%, bahkan gagal, mengingat asas manfaat dan manfaat berkelanjutan. Tentu ada kerancuan dalam analisis kebutuhan yang tidak memadai. Mungkin rakyat tidak butuh, maka planning yang bottom up (dari bawah), yang melibatkan masyarakat di level grass root adalah keharusan, termasuk ketika proyek sudah berjalan, dan pasca pembangunannya. Adalah sebuah keanehan jika pemerintah tidak merasa rugi setelah membangun tapi tidak dimanfaatkan. Apakah karena dananya bukan hasil kerja Pemda, sehingga diabaikan begitu saja?

7. Lembata secara geografis diuntungkan karena hanya satu pulau. Mestinya sentuhan kecil sekalipun langsung memberi wajah dan warna jika intensional dan jelas tujuannya. Misalnya: Kapal Aku Lembata, Bukit Cinta, Bukit Doa, Festival 3 Gunung, bahkan Awulolong. Sayang tidak ada efek unik, signifikan, dan jauh dari pencapaian yang ‘reputable’ dan jadi kebanggaan. Mungkin pemerintah tidak punya ‘dream’ dengan formula yang ajaib untuk ‘menghipnotis’ tanah ‘Leu Auq – Lepan Batan’ jadi ‘Batam dari Timur’, sebagaimana Batam di barat yang ‘dihipnotis Habibie.

8. Satu-satunya ibukota Kabupaten di Indonesia yang jalan kotanya tidak terurus dan kawasannya terkesan kumuh adalah Lembata. Apakah karena tidak ada angkutan kota dan kebanyakan warganya dari Kampung? Ada dua pilihan: Lewoleba jadi ‘Ibu Kampung’ dan atau akses program yang namanya ‘KOTAKU‘ alias KOta TAmpak KUmuh. (JR)

 

Pos terkait