NUSALONTAR.com – Kupang – Perseteruan elit partai politik di Kabupaten Ende tentang jabatan wakil bupati yang kosong belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Perseteruan elit politik justru semakin mengaburkan harapan warga Kabupaten Ende yang tengah menanti ujung dari proses itu.
Didimus Dedi Dhosa, akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, ketika dimintai pendapatnya oleh NUSALONTAR.com terkait hal itu, mecoba memberi beberapa poin pandangan.
Menurut Dedi, sapaan akrab dosen muda itu, merujuk pada sejumlah pemberitaan di media massa, ada dua kelompok utama yang berseteru.
“Kelompok pertama adalah kubu partai Golkar. Golkar ingin mengusung calon dari partainya untuk mengisi kursi wakil bupati. Sejumlah pengamat politik berargumen bahwa dari perspektif etika politik, partai koalisi harus tetap memberikan ruang bagi Golkar dalam mengisi jabatan wakil bupati. Argumentasi itu, bagi saya, memperlihatkan celah yang masih bisa diperdebatkan,” paparnya.
Lanjut Dedi, “Posisi Golkar sebetulnya tampak inkonsisten. Ada persoalan internal partai Golkar. Dua nama yang digadang-gadang dan diusulkan: Heri Wadhi dan Dominggus Mere. Wadhi adalah sosok yang telah lama membesarkan Golkar, sementara itu, Mere merupakan sosok yang relatif baru dalam tubuh Golkar. Jika Golkar ingin konsisten dalam pengkaderan anggota partai, maka anggota yang telah lama membesarkan partai yang harus diprioritaskan untuk diusung menjadi wakil bupati. Di titik inilah problem internal Golkar mencuat,” jelasnya.
Dosen yang seringkali melakukan penelitian dan menulis jurnal tentang persoalan-persoalan sosial itu mengatakan, Golkar tidak bisa memungkiri bahwa tingkat elektabilitas dan popularitas dua nama yang digadang-gadang oleh Golkar justru mengalami persoalan serius. “Itulah alasan yang bisa kita duga mengapa Golkar cenderung mengajukan 2 nama, yang berdampak pada semakin panjangnya pemilihan wakil bupati,” imbuhnya.
Kata Dedi, kelompok kedua yang terlibat dalam tarik-ulur pemilihan posisi wakil bupati adalah partai koalisi. Partai koalisi telah berubah menjadi partai oposisi dalam kepentingan pemilihan wakil bupati. Karena itu, kelompok ini mengusulkan nama Erik Rede, dari partai NasDem yang akan dipilih.
“Bagi saya, potret perseteruan elit partai Golkar dan partai koalisi merupakan tanda ketidak-matangan elit partai dalam berpolitik. Yang mereka usung adalah kepentingan sempit para elit partai politik, dan bukan menempatkan kepentingan rakyat di atas segala-galanya. Golkar ingin mengusung nama dari partainya, demikian sebaliknya, partai koalisi,” urai Dedi.
“Kita pun tidak bisa menghindar bahwa terdapat konflik kepentingan dalam tubuh partai koalisi sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa watak kekuasaan warisan orde baru yang predatoris masih menguasai elit partai politik kita, apa pun asal partainya,” tutur putra Kaburea itu.
Dedi menambahkan, “Buramnya wajah politik di Kabupaten ini pertama-tama bukan disebabkan oleh masyarakat kecil, melainkan oleh perilaku predatoris para elit partai politik, entah partai Golkar maupun partai-partai koalisi. Perpecahan bukan antara elit versus warga, melainkan elit versus elit.”
“Paket mana yang menang dalam pertarungan itu, tentu saja, akan memonopoli keuntungan ekonomi-politik melalui penguasaan anggaran, proyek, jejaring patronase. Sirkulasi kekuasaan berputar di tubuh elit sendiri. Lalu, massa rakyat terus menjadi penonton dan teralienasi dari panggung politik kekuasaan,” pungkasnya. (JR)