KUPANG – Ketua Pengurus Ikatan Daerah Apoteker Indonesia NTT, Frama El Lefiyano Pollo, S.Si., M.Sc, menghimbau apoteker di NTT untuk bertanggung jawab dan patuhi standar hukum yang ada dalam melakukan praktek farmasi.
Berdasarkan rilis pers yang diterima Redaksi NUSALONTAR.COM, himbauan itu disampaikan Ketua Pengurus Ikatan Daerah Apoteker Indonesia NTT, Frama El Lefiyano Pollo, S.Si., M,Sc di Kupang, Sabtu (09/08/2021).
Menurutnya, di tengah meningkatnya penularan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), sudah tentu masyarakat sangat membutuhkan obat-obatan yang sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, apoteker harus benar-benar bekerja sesuai dengan SOP dan berlandaskan hukum.
“Saya menghimbau kepada para apoteker di NTT dan distributor obat untuk melakukan praktek kefarmasian secara bertanggungjawab. Artinya, melakukan praktek secara legal dan mematuhi stantar-standar pelayanan sesuai ketentuan hukum yang ada,” ungkap Lefiyano Pollo.
Lefiyano Pollo juga berharap agar peningkatan kompetensi kefarmasian dalam melayani masyarakat di tengah gempuran Covid-19 di NTT menjadi hal mutlak, demi mendukung dan menekan angka penyebaran virus yang mematikan itu.
“Tingkatkan kompetensi kefarmasian, sehingga kehadiran kita itu nyata sebagai sumbangsih yang jelas kepada masyarakat. Agar masyarakat benar-benar mendapat pelayanan yang baik, memudahkan mereka dalam mendapatkan obat-obatan, agar mereka dapat keluar dari penularan Covid-19,” harap Lefiyano Pollo.
Himbauan Ketua Pengurus Ikatan Daerah Apoteker NTT itu didasarkan atas meningkatnya angka positif kasus Covid-19 dI Kota Kupang, serta kebutuhan akan obat yang dianggap potensial dan sudah dipakai dalam terapi Covid-19 menjadi tinggi. Di sisi lain, tingginya kebutuhan obat itu dapat saja dimanfaatkan oleh sebagian pelaku usaha untuk menaikan harga jual obat kepada masyarakat.
Menurutnya, harus ada pengaturan standarisasi harga obat di pasaran sehingga masyarakat tidak dirugikan di saat-saat sulit mereka melawan virus yang mematikan saat ini.
Lanjut Lefiyano Pollo, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin telah menetapkan harga eceran tertinggi obat terapi COVID-19 melalui Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Dalam Masa Pandemi COVID-19. Harga Eceran Tertinggi (HET) ini merupakan harga jual tetinggi obat di Apotek, Instalasi farmasi, RS, klinik, dan Faskes yang berlaku di seluruh Indonesia, di antaranya:
1. Favipiravir 2OO mg (Tablet) Rp22.500 per tablet
2. Remdesivir IOO mg (Injeksi) Rp510.000 per vial
3. Oseltamivir 75 mg (Kapsul) Rp26.000 per kapsul
4. lntravenous Immunoglobulin 5% 50 ml (lnfus) Rp3.262.300 per vial
5. lntravenous Immunoglobulin 10% 25 ml (Infus) Rp3.965.000 per vial
6. lntravenous Immunoglobulin l07o 5O ml (Infus) Rp6.174.900 per vial
7. Ivermectin 12 mg (Tablet) Rp7.500 per tablet
8. Tocilizrrmab 4O0 mg/20 ml (Infus) Rp5.710.600 per vial
9. Tocilizumab 8o mg/4 ml (Infus) Rp1.162.200 per vial
10. Azithromycin 50O mg (Tablet) Rp1.700 per tablet
11. Azithromycin 50O mg (Infus) Rp95.400 per vial
Pada sisi yang lain, salah seorang warga yang bergerak di bidang kefarmasian di kota Kupang yang tidak mau menyebutkan identitasnya, mengatakan bahwa standarisasi harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh Kemnekes RI tersebut tidak belaku di NTT, khusunya kota Kupang. Pasalnya mereka mengambil dari pabrik dengan harga yang sudah tinggi dan tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) RI, sehingga mereka menyesuaikan harga penjualan kepada masyarakat berdasarkan harga pabrik.
“Pemberlakuan HET yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI tersebut tidak dapat berlakukan di wilayah NTT, khususnya Kota Kupang, mengingat adanya biaya operasional apotek dan harga jual dari pihak Pedagang Farmasi Besar (PBF) sudah melambung tinggi dari harga HET karena mereka juga mengambil dari pabrik dengan harga yang tinggi. Di samping itu, kelangkaan obat-obatan tersebut bukan saja di NTT, wilayah pulau jawa juga sangat terbatas stok obatnya,“ ungkap salah satu sumber apoteker yang ingin dirahasiakan identitasnya itu.
Menurutnya, Kepmenkes RI itu harus dikaji ulang, karena kalau diwajibkan untuk menjual obat-obatan tersebut sesuai harga yang ditetapkan, sudah tentu mereka akan rugi karena mereka mengambil harga dari pabrik sudah sangat tinggi. Dan tentunya mereka tidak akan berani menjual karena kuatir menyalahi aturan dan bisa dipidana.
“Keputusan Menteri Kesehatan RI tersebut harus dikaji ulang. Kami pihak apoteker tidak berani melakukan pengadaan maupun menjual obat-obatan sesuai dengan standar HET. Kami juga mengalami kerugian dan takut akan ditindak hukum. Hal tersebut sangat berdampak pada kelangkaan ketersedian obat di Kota Kupang. Obat yang masih ada saat ini adalah stok lama,” tandasnya. (Tim)