Oleh: Didimus Dedi Dhosa
(Dosen FISIP dan Sekretaris Eksekutif Center for East Indonesian Studies Unika Widya Mandira, Kupang)
OPINI – Pemerintah pusat telah mencanangkan program pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai unit usaha yang menggerakkan roda perekonomian desa. Program tersebut mengandung paling tidak dua sasaran penting.
Pertama, anti-tesis terhadap konsentrasi penumpukan kapital pada wilayah metropolitan dan urban di Indonesia. Dan kedua, distribusi kapital ke wilayah periferi mampu membuka zona ekonomi baru yang menyerap tenaga kerja di pedesaan, sembari menekan laju perpindahan masyarakat desa ke pusat-pusat industri di perkotaan.
Sejak itu, pemerintah daerah mulai mendesain program-program kerja dan target pencapaian dalam mengembangkan BUMDes.
Tapi, niat besar pemerintah pusat dan respon lanjut pemerintah daerah mengalami turbulensi besar pada tataran implementasi, terutama lantaran ambiguitas relasi kuasa dari para aktor yang mengembangkan BUMDes. Tulisan ini bertujuan untuk menampilkan wajah ganda dan ambigu dari pengembangan BUMDes di NTT.
Trend Positif?
Dari 1.415 BUMDes yang terbentuk di NTT, baru terdapat 624 BUMDes yang produk usahanya terdaftar secara resmi di Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) (antaranews.com, 30/1/2021). Pemerintah Provinsi NTT berpendapat bahwa semakin banyak BUMDes terdaftar secara resmi dan semakin banyak usaha yang dikembangkan, maka hal ini dapat memenuhi salah satu tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs) (Ibid).
Melalui kerjasama dengan perguruan tinggi di Nusa Tenggara Timur, salah satunya adalah Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) dalam program kuliah kerja nyata tematik (KKNT) pada Juli-Agustus 2022 silam, pemerintah Provinsi melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, tampak berambisi untuk meningkatkan jumlah badan usaha ini terdaftar secara resmi sebagai bukti legal pengakuan negara.
Unwira melalui ‘balatentaranya’ yang tersebar di 10 Kabupaten di NTT paling tidak telah melaksanakan tiga hal penting guna mendukung pemerintah. Pertama, mahasiswa mengidentifikasi potensi-potensi ekonomi di tiap desa. Mereka menemukan bahwa hampir di tiap desa, masyarakat memiliki sejumlah kekayaan material yang dapat dikonversi menjadi kapital yang membantu masyarakat keluar dari belenggu kemiskinan akut. Sejumlah desa memiliki hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan bahkan kelautan. Barang-barang itu kemudian di-valorisasi dan dikapitalisasi menjadi nilai ekonomis. Yang terjadi saban tahun adalah petani sebagai subyek pembangunan malah menjadi obyek pembangunan ketika komoditi ditarik masuk ke pasar global.
Kedua, mahasiswa menginventarisasi kelengkapan dokumen sebagai syarat mendaftarkan BUMDes pada kementerian. Senada dengan data dari pemerintah, mahasiswa Unwira menjumpai betapa banyaknya data-data administratif yang masih terbatas. Keterbatasan ini menghambat pengembangan BUMDes dalam kacamata pemerintah daerah.
Data-data ini ditulis dan dilaporkan kepada Universitas, dan diteruskan kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa sebagai basis material dalam mendesain kebijakan lanjut.
Ketiga, pendampingan dan penguatan kapasitas (capacity building) para pengurus BUMDes di sejumlah desa di kabupaten Kupang oleh Tim Dosen Unwira. Yang dilakukan oleh Tim ini adalah pendampingan hal-hal teknis administrasi sebagai misal, melacak kelengkapan dokumen BUMDes, bagaimana proses pengurusan pendirian lembaga BUMDes, perencanaan bisnis, pemasaran digital, hingga pelaporan keuangan.
Ketiga hal itu merupakan produk kolaborasi lembaga pendidikan tinggi dengan institusi negara mengatasnamakan kesejahteraan rakyat dalam dan melalui BUMDes.
Projek ini berbasis pada, salah satunya, kesuksesan dua BUMDes yang masuk nominasi 10 desa terbaik nasional, yakni Au Wula di desa Detusoko Barat di kabupaten Ende, dan Tujuh Maret di desa Hadakewa di kabupaten Lembata. Potret kesuksesan dua BUMDes ini menjadi spirit yang mendorong pemerintah untuk ‘unjuk gigi’ mengembangkan lembaga ekonomi desa.
Tapi, sejumlah temuan selama KKNT Unwira 2022 lalu menjadi bukti dan narasi counter kepada pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi untuk tidak terjebak pada pola-pola klasik proyek pengembangan BUMDes dari perspektif institusional.
Program pengembangan BUMDes, meminjam Tania M Li (2007) sebagai the will to improve dari teknokrat, tanpa pernah membongkar relasi kuasa dalam desain pembangunan.
BUMDes Sebagai Sebuah Problem?
Temuan lapangan menunjukkan bahwa BUMDes memiliki wajah ganda dan serentak ambigu. Ia adalah sebuah problem. Problem bukan saja pada ranah institusional melainkan lebih karena problem relasi kuasa yang timpang di tingkat lokal.
Ironisnya, pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi tidak pernah membongkar ketimpangan relasi kuasa sebagai warisan historis ketika dua institusi tersebut mendesain program-program pengembangan BUMDes.
Pada satu sisi, ia hadir sebagai blessing in disguise bagi masyarakat lokal ketika ia mengembangkan produk-produk lokal untuk dijajal ke pasar.
Tapi di sisi lain, BUMDes menampilkan borok yang menjijikan yang dipraktikkan secara vulgar oleh elit-elit di tingkat desa. Dana desa dialokasikan sebagian kepada BUMDes. Pengelolaan dana tampak tidak profesional. Elit budaya dan sosio-ekonomi serentak menjadi elit pemerintah desa, yang juga mengelola BUMDes. Relasi kontrol sosio-ekonomi menjadi lemah, stagnan dan a-simetris.
Yang terbersit di kepala mereka adalah bagaimana menghabiskan dana-dana tersebut. Semakin tinggi daya serap anggaran, maka sebuah rezim pemerintah sudah dianggap berhasil mengelola dana.
Problem Kekuasaan
Pada prinsipnya, BUMDes di NTT tidak sekedar masalah institusional yang membuat pemerintah dan lembaga pendidikan terjebak pada hal-hal teknis prosedural. Ia lebih dari itu adalah masalah ketimpangan kekuasaan aktor-aktor di tingkat lokal. Akses terhadap sumber daya, formal dan non-formal, tampak timpang. Hal ini kemudian berdampak pada pengelolaan BUMDes.
BUMDes selalu berurusan dengan tindakan produksi dan reproduksi barang-barang material. Karena itu, empat pertanyaan ekonomi politik yang pernah diajukan Bernstein (2010) menjadi penting diperhatikan. Bernstein (2010) mengkaji dinamika sosial dan dinamika produksi dan reproduksi dalam konteks agraria dengan bertumpu pada (1) siapa memiliki apa, (2) siapa melakukan apa, (3) siapa mendapatkan apa, dan (4) digunakan untuk apa hasil yang didapatkan itu?
Keempat pertanyaan ekonomi politik ini dapat digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan sosial dan dinamika produksi dan reproduksi barang-barang material yang dikembangkan oleh BUMDes di tingkat lokal NTT, bahkan di sejumlah tempat di Indonesia.
Masyarakat desa sedang menanti kiprah pemerintah daerah dan lembaga pendidikan tinggi untuk mendesain kebijakan BUMDes yang tidak terjebak pada aspek institusional semata, tetapi lebih dari itu, keberanian untuk membongkar ketimpangan relasi kuasa di tingkat lokal.**