OPINI – NUSALONTAR.COM
Oleh: Femi Wati Taloim*
Sejarah telah membuktikan bahwa krisis selalu diikuti dengan inovasi dan terobosan di seluruh penjuru dunia. Inovasi dan terobosan pada awalnya dimaksudkan untuk membawa jutaan manusia ke arah yang lebih baik. Meski demikian, fakta membuktikan bahwa kita acapkali dihadapkan pada dua wajah perubahan yang ambigu.
Pertama, orang masuk ke terowong modernisasi kehidupan lewat kemajuan teknologi yang memadai. Kedua, modernisasi teknologi justru menghadapkan kita, para pelaku sejarah, ke tubir kehancuran yang brutal.
Pandemi covid-19 yang melanda Wuhan, China, pada tahun 2019 silam dan kemudian menjelajahi pelosok-pelosok penjuru, tak terkecuali Indonesia, adalah pintu masuk kepada krisis yang mendalam.
Rupa-rupa krisis membuncah. Mulai dari krisis ekonomi, krisis sosial, krisis kultural, krisis politik, hingga yang paling memilukan adalah krisis kemanusiaan.
Jutaan manusia, pria-wanita, kaya-miskin, tua-muda, tak peduli seonggok tubuh macam mana, mati mengenaskan. Mereka lalu dikubur jauh dari ‘altar’ keluarga. Isak-tangis nan pilu sebagai ekspresi duka paling dalam seakan runtuh di hadapan covid-19. Akhirnya, tubuh yang kaku telah berubah sebatas angka-angka statistik yang terpajang di dinding laporan media.
Searah dengan itu, pandemi covid-19 pun meluluh-lantakan basis ekonomi. Sejumlah sarjana (scholar) melihat momen ini sebagai krisis yang justru membuka jalan lapang bagi akumulasi kapital yang lebih besar melalui apa yang disebut “kapitalisme digital” (digital capitalism).
Meskipun krisis yang muncul dari pandemi covid-19 telah melahirkan kreasi canggih dari Oxford University, yang kemudian dikenal luas salah satu nama beken, Sarah Gilbert, dengan vaksin AztraZeneca. Tapi di sisi lain, kehebatan Gilbert dan Tim-nya hadir bersamaan dengan lubang hitam teknologi kapitalisme digital.
Masyarakat lokal yang mengalami kesulitan secara ekonomi, entah yang berbasis di metropolitan, urban maupun periferi, masih kerap terjungkal dalam bisnis belanja online. Pandemi telah membatasi mobilitas warga, menumpuk hasil produk-produk warga lokal, tidak tahu kemanakah harus dijual, warga tetap membutuhkan akses dan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga.
Kesulitan itu kemudian menjerumuskan mereka untuk berbelanja secara online. Produk dan tawaran menggiurkan tersebar di media digital. Orang sudah memiliki akses yang cepat dan terbuka di media digital. Pinjaman-pinjaman online pun menyasar siapa saja.
Tak heran pula, aplikasi pinjaman online, entah yang terdaftar pada otoritas jasa keuangan (OJK) secara resmi maupun yang beroperasi secara ilegal, menjamur di dunia digital. Publik dirayu sedemikian rupa, menghanguskan nalar kritis, juga mendera orang-orang yang cukup rasional untuk menghamba pada pinjaman online, sebuah bentuk kapitalisme digital.
Laporan Kompas (13/7/2021) menyebutkan, Satgas Waspada Investasi yang terdiri dari 13 Instansi telah memblokir 3.365 pinjaman daring ilegal yang berlaku sejak 2018 hingga medio Juli 2021. Sungguh, betapa membludaknya aplikasi online yang telah memeras uang para peminjam, lalu menumpuk kekayaan sebesar-besarnya.
Yang tersisa darinya adalah para peminjam harus membanting tulang untuk meminjam uang dari sumber-sumber lain agar dapat mengembalikan dana pinjaman cum bunga pinjaman kepada owner aplikasi pinjaman online. Setelah itu, mereka harus hidup dalam kemiskinan akut karena telah berutang jutaan rupiah, dan menanggung aib dari modus penipuan pinjaman dan belanja online.
Sampai di titik ini, tersingkaplah kepada kita betapa krisis dalam dan dari covid-19 telah berwajah ganda: pada satu sisi ia membuka ruang kreasi dan inovasi untuk menciptakan vaksin anti covid, dan di sisi lain, ia membuka kotak pandora klasik bahwa krisis selalu membawa inovasi yang lebih canggih lewat teknologi untuk ekspansi kapital lewat kapitalisme digital.
Pertanyaan penting adalah what is to be done? Apakah kita mengharapkan negara untuk melindungi para warga, citizen yang serentak menjadi netizen, warga aktif dan warga jagat maya, dari jebakan kapitalisme digital?
Seberapa percayakah kita akan proteksi negara bagi citizen ketika aktor-aktor negara adalah juga para pemburu rente, meminjam Robison dan Hadiz dengan istilah “politico-business” yang saat ini pun telah bermetamorfosis menjadi penguasa kapitalisme digital?
Sembari menaruh harap pada proteksi negara untuk memblokir situs dan aplikasi online yang menindih warga, kita pun berharap agar negara pun meningkatkan ekonomi warga di kala pandemi dan sesudahnya agar mereka tidak terjebak dan menjebakkan diri dalam kapitalisme digital.**
*Mahasiswi Administrasi Publik-FISIP Universitas Katolik Widya Mandira