NAGEKEO – “Berkat Tenun Ikat, saya bisa ke Kupang, bertemu dengan Bapak Gubernur untuk antar hasil tenun,” ucap Katarina Derici Ro’o, siswa Kelas XII IPA SMAS St. Fransiskus Xaverius Boawae kepada NUSALONTAR.COM, Senin (01/11/2021).
Katarina mengungkapkan kegembiraannya itu ketika ditanyakan tentang kesannya dalam mengikuti pelajaran Mulok dan kegiatan Ekstrakurikuler Tenun Ikat di SMAS St. Fransiskus Xaverius Boawae.
Katarina juga menyampaikan bahwa dirinya merasa sangat bangga dan bahagia karena bisa belajar tentang Tenun Ikat. Belajar tentang Tenun Ikat membantunya mendapatkan ilmu, memahami budayanya sendiri, sekaligus mendapatkan penghasilan.
“Saya merasa bahagia dan juga bangga belajar tentang Tenun Ikat, karena saya akhirnya memahami budaya daerah saya sendiri, punya kompetensi dalam hal menenun, bisa saling berbagi dengan sesama teman, dan punya banyak pengalaman baru. Selain itu dengan menenun, dapat membantu saya dalam biaya uang sekolah ketika hasil tenun saya sudah terjual,” tuturnya.
Katarina berterima kasih kepada pihak sekolah karena sudah membantunya melalui Eskul Tenun Ikat itu.
“Setengah dari harga jual diberikan untuk kami yang tenun. Terima kasih banyak buat sekolah yang telah menyalurkan bakat kepada kami,” imbuhnya.
Tenun Ikat Masuk Kurikulum
Sekolah Menengah Atas Swasta St. Fransiskus Xaverius (SMAFIX) Boawae, Kabupaten Nagekeo, dalam waktu kurang lebih dua tahun telah melaksanakan kegiatan Ekstrakurikuler Tenun Ikat, bahkan Tenun Ikat sudah masuk kurikulum dan diajarkan dalam Muatan Lokal dan Prakarya.
Kepala SMAS St. Fransiskus Xaveriaus Boawae, Bruno Kewo Ule, S.Fil., mengungkapkan bahwa kegiatan ekstrakulikuler (ekskul) Tenun Ikat ini terinspirasi dari kegiatan di sebuah SLB di Kupang yang kegiatan wirausahanya adalah tenun dan pembuatan batako.
“Saya tergerak saat melihat kegiatan di sebuah SLB Negeri di Kupang. Mereka itu anak-anak disabilitas, tapi bisa melakukan sesuatu yang bernilai, sesuatu yang bisa menghasilkan uang. Dari situ saya berpikir untuk menjadikan Tenun Ikat ini sebagai kurikulum dan masuk dalam kegiatan belajar mengajar,” ucapnya.
Saya melihat, sambung Bruno, bahwa siswa kita di sini memiliki potensi tenun, sehingga kita mencoba mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak-anak itu di sekolah. Tenun Ikat ini sudah kita masukan dalam kurikulum sehingga diajarkan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) Muatan Lokal (Mulok), Prakarya dan Wirausaha, juga dalam kegiatan ekstrakurikuler.
“Kita berharap supaya anak-anak memiliki bekal setelah lulus dari sini nanti. Mereka sudah punya pungetahuan dan ketrampilan, sehingga mereka tidak sibuk lagi mencari pekerjaan ke sana kemari jika tidak melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi,” ungkapnya.
Bruno juga mengungkapkan bahwa sudah banyak pula anak-anak yang lulus dari SMAFIX, kini tengah diakomodir oleh Dekranasda Kabupaten Nagekeo untuk diberi pelatihan.
Selain itu, kata Bruno, hasil karya siswa selama kurang lebih dua tahun ini telah dipesan oleh banyak pihak.
“Bapak Gubernur (Viktor Laiskodat, red) pesan 10 lembar, kita sudah antar, ada puluhan syal, selendang, dan lain-lain, hasil dari karya anak-anak ini yang kita sudah sebarkan ke mereka yang pesan,” sebut Bruno.
Bruno mengaku siap mengadakan kerja sama dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan tenun ikat, termasuk melakukan studi banding di Nggela (Kabupaten Ende, red) untuk lebih memperkaya pengetahuan siswa tentang tenun ikat ini.
Kata Para Guru
Menurut salah satu guru, awalnya siswa masih malu-malu untuk mengikuti eskul Tenun Ikat ini.
“Mungkin karena mereka merasa itu tidak populer. Namun, sekarang mereka sudah semangat karena ada banyak dukungan, baik dari internal sekolah sendiri maupun dari pemerintah yang datang langsung melihat dan membeli hasil tenun anak-anak itu, seperti dukungan dari Ibu Ketua Dekranasda Kabupaten Nagekeo, dari Disperindag, Ketua DPRD Nagekeo, bahkan dukungan dari Gubernur NTT dan Anggota DPR RI, Yohanis Fransiskus Lema.
Hubertus M. Keti, S.Pd., guru yang ditunjuk untuk mendampingi Eskul Tenun Ikat ini mengungkapkan bahwa awal kegiatan ini dilaksanakan di sekolah, dengan peserta yang sangat sedikit yaitu enam (6) orang siswa.
“Waktu itu kita mulai dengan enam siswa dan dua pasang alat tenun yang dibeli oleh sekolah. Melihat antusisme siswa yang agak kurang, sebagai pendamping saya agak was-was juga, jangan-jangan tidak ada yang berminat,” kisahnya.
Namun, pria yang akrab disapa Heru ini mengungkapkan bahwa dirinya tetap merasa optimis dan terus mengkampanyekan Eskul Tenun Ikat itu sehingga banyak siswa yang tertarik dan kegiatan itu juga semakin mendapat dukungan.
Sekarang pesertanya sudah lumayan banyak, yakni 30 orang. Siswa yang berminat di Eskul Tenun Ikat ini datang dari berbagai wilayah di Nagekeo sehingga mereka memiliki motif tenun yang berbeda-beda. Kami, para pendamping mencoba memetakan dalam kelompok berdasarkan wilayah dan model tenun untuk memperlancar proses kerjanya,” jelas Heru.
Heru juga mengeluhkan kesulitan yang dialaminya sebagai pendamping. Kata Huber, salah satu kesulitan utama mereka adalah soal waktu.
“Dalam kegiatan ini juga ada kesulitan yang kmi pendamping alami, yaitu soal waktu. Tenun ini butuh waktu, ketenangan, kesabaran. Kadangkala anak-anak jenuh. Namun kami berusaha keras sehingga mereka bisa tekun untuk mempelajari cara menenun ini,” tandasnya. (Fantos/JR)