ESEI – NusaLontar.Com
Oleh: Roman Rendusara
Kesadaran untuk mendapatkan passive income semakin popular di tengah terpaan pandemi. Investasi saham banyak dilirik oleh masyarakat. Tak ketinggalan kaum milenial. KoranSINDO (No 5500 Tahun ke 15, 30/1/2021) menyajikan, usia investor milenial (kelahiran 1980-1995) sebesar 22,55 persen, dengan total aset Rp 68,89 triliun.
Kaum milenial (berusia 26-40 tahun) kini memanfaatkan investasi dengan sisa gaji setelah memenuhi kebutuhan utama. Sayangnya, literasi investasi masih butuh penajaman lebih lanjut.
Seperti kemarin malam, saya ditelpon oleh seorang teman dari negeri seberang. Dia masih milenial. Singkat cerita, ia menawarkan untuk bergabung dengan sebuah investasi bersama. Saya menyebut inisial saja, LTC. Teman saya menjelaskan secara rinci. Mulai dari simpanan awal hingga berapa bunga yang diperoleh.
Intinya dia mengatakan begini, LTC merupakan komunitas bagi hasil yang menjalankan trading crypto currency dengan membagi hasil keuntungannya kepada setiap anggota. Bunganya menggiurkan. Berkisar 0,50-13 persen per hari. Wow!
Sementara, saya coba bandingkan, bunga tabungan bank saja 0,25-2,00 persen per tahun. Ingat, per tahun. Bunga di Koperasi Simpan Pinjam (Kopdit) seperti produk Sibuhar saja, 2-3 persen per tahun. Sekali lagi, per tahun.
Lalu, trading crypto currency? Cryptocurrency, dengan mata uang terkenalnya, seperti Bitcoin adalah mata uang digital yang menggunakan kriptografi untuk melindungi dan memungkinkan transaksi keuangan antar individu. Crypto currency memungkinkan perantara pihak ketiga seperti bank atau perusahaan kartu kredit tidak diperlukan.
Di Tanah Air, Bank Indonesia (BI) melarang pelaku layanan keuangan berbasis teknologi (financial technology) termasuk e-commerce agar tidak menerima bitcoin. Alat pembayaran yang sah adalah rupiah. UU perbankan kita belum mengakui mata uang digital (virtual currency).
Pemerintah melarang crypto currency, dengan mata uang digitalnya bitcoin demi menjaga kedaulatan rupiah. Sebab, tak seorang pun tahu, siapa yang mengatur transaksi mata uang digital.
Di akhir penjelasan, teman saya tadi mengakui, dia sudah menerima bunga berkali-kali lipat, dalam enam bulan bergabung. Dari setoran awalnya sebesar Rp 100 juta.
Saya kemudian teringat petuah dosen pengantar bisnis dulu. Investasi apapun jenisnya, punya peluang untung dan buntung sama besar. Terutama investasi bodong. Cirinya, menawarkan keuntungan tidak wajar dan menjual nama tokoh terkenal.
Ekuslie Goestiandi, dalam refleksi: Titanic vs Kapal Nabi Nuh (Tabloid Kontan,1-7/2/2021) melukiskan sikap saksama dalam berinvestasi lewat cerita kuno: kapal Titanic dan kapal Nabi Nuh.
Titanic adalah kapal supermewah. Dirancang para insiyur perkapalan terhebat pada awal abad modern. Titanic dibuat dengan bantuan teknologi mutakhir. Menelan biaya jutaan dolar. Dengan gagah perkasa, kapal ini diklaim sebagai kapal yang tidak akan tenggelam. Siang hari, Titanic seperti hotel berbintang lima kelas platinum. Malam hari, ia tampak agung laksana kawasan mewah, yang mengapung penuh kerlap-kerlip. Namun sejarah akhirnya bercerita, dalam awal perjalanannya, Titanic harus kandas membentur gunung es akibat amukan badai.
Bagaimana dengan kapal Nabi Nuh? Itu kapal sederhana. Terbuat dari gelondongan kayu. Dirakit oleh tangan-tangan manusia. Tanpa rekayasa teknologi. Hingga selesai, Kapal Nabi Nuh menelan waktu bertahun-tahun. Namun, Nuh membuatnya dengan sabar, cermat dan penuh hikmat. Hasilnya, kapal kayu itu menyelamatkan anggota keluarga dan segenap hewan dan satwa.
Pesannya, ketika milenial berinvestasi tak perlu berharap panen raya. Sebab, hakekat investasi adalah sebuah bisnis, melibatkan proses yang ditempuh, bukan melulu hasil yang ngotot diburu.
**