Eliaser Yentji Sunur, Dibenci atau Dicintai? (Narasi, Kritik, dan Eulogi)

ESEI – NUSALONTAR.COM

Oleh: Robert Bala*

Bacaan Lainnya

Berita wafatnya Yentji Sunur, bupati Lembata tentu saja mengejutkan. Sebelum El Tari Cup dibatalkan, ia sibuk keliling NTT demi meyakinkan peserta dari kabupaten lain. Upaya itu kelihatan sangat menydot perhatian. Sebagai seorang yang sangat getol dengan El Tari Cup, hadirnya gelombang kedua covid yang membatalkan El Tari Cup tentu saja membuatnya cukup ‘down’ hingga akhirnya ia pergi bersama covid-19 yang datang menjemputnya.

Yang jadi pertanyaan: apakah yang bisa dijadikan pembelajaran di balik wafatnya Elias Yentji Sunur? Pertanyaan ini tentu ditanggapi dengan skeptis terutama mereka yang selama menganggap ini tidak ada kebaikan sedikit pun. Bagi mereka yang sudah kecewa, apapun yang dilakukan semuanya hitam kelam.

Tentu saja pendapat mereka juga tidak semuanya salah (dan juga tentu juga tidak semuanya benar). Tetapi setiap orang, sejelek apapun pasti ada kebaikan. Sebaik apapun pasti ada kejelekan. Itulah maksud tulisan ini meneropong secara seimbang.

Kutukan Lewotana?

Mendengar kematian bupati Yentji Sunur, ada beberapa orang yang secara spontan mengatakan hal ini: “Ini kutukan lewotana.” “Lewotana itu panas”. Demikian komentar polos yang terucap dari beberapa yang mungkin saja banyak orang.

Ada yang mengatakan: “doa kami berhasil. Tuhan sudah mengabulkan doa-doa selama ini”. Yang jadi pertanyaan, apakah kematian ini merupakan akibat dari kutuk atau karena doa diterima Tuhan? Kalau bicara soal ini tentu bersifat ‘discutible’ (bisa diperdebatkan).

Secara teologis, Tuhan tidak pernah menerima doa untuk mencelakakan orang. Memang ada teks Kitab Suci berbagai agama yang seakan mendukung hal ini. Tetapi semua teks ini selalu dipahami sebagai ungkapan manusiawi yang menggambarkan Tuhan yang juga punya emosi seperti manusia. Tetapi teologi yang didasarkan kebijaksanaan umumnya menerima bahwa Tuhan tidak pernah mengutuki ciptaanNya sendiri. Malah yang diusahakan agar ciptaanNya itu kembali kepadaNya.

Lalu apakah kutukan dan berkat itu ada? Ya, ada. Tetapi berkat dan kutukan itu tidak diartikan sebagai doa dan harapan yang dipanjatkan agar orang lain memenuhi apa yang ‘diharapkan’. Berkat berasal dari bahasa Latin ‘bene – dicere’ artinya berkata baik. Sementara itu kutuk dari kata ‘mal dicere’. Itu artinya, setiap orang atas kebaikan yang dilakukan sudah pasti menghasilkan pembicaraan yang baik tentangnya. Demikian juga hal yang negatif yang dilakukan dan menderitakan orang lain, maka akan menghasilkan pembicaraan yang tidak baik.

Untuk hal ini, maka siapapun tidak hanya bupati, gubernur, bahkan presiden pun tidak lepas dari dua hal ini. Ada kebaikan yang menghasilkan pembicaraan baik juga ada krtik Malah pembicaraan negatif. Semuanya ada sebagai seni kehidupan. Soal kebaikan, kalau bisa terpilih 2 periode, maka tentu ada kebaikan (itu wajar).

Dalam arti ini maka sebuah kematian tidak diproduksi atas ‘berkat’ dan ‘kutukan’. Apalagi mewakilkan Tuhan dan lewotana di baliknya. Setiap kematian (seperti kematian anak kecil atau bayi yang tak berdosa), tidak ada kaitan dengan dosa yang dibuatnya. Semuanya adalah sebuah jalan kepastian oleh karena secara fisik sudah tidak bisa lagi menanahan penyakit dan penderitaan yang melandanya.

Buka Jalan

Lalu apakah ada kebaikan yang telah dihasilkan oleh Eliaser Yentji Sunur selama 9 tahun berkuasa? Ini pertanyaan yang tentu saja menarik. Kalau soal keburukan nampaknya sejauh media sosial merekam, tidak sedikit. Kasus Awololong dianggap menjadi ‘puncak’ yang sejauh ini belum ada titik terang., Hal lain tentu masih bisa dideretkan.

Tetapi keburukan itu tidak bisa menutupi kebaikan yang dibuat. Tulisan ini tidak mengangkat hal baik sebagai prestasi kerja. Kalau hal ini butuh data. Tetapi yang jauh lebih menarik adalah menganalisis paradigma atau cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku.

Bagi Yentji Sunur, Lembata memang memiliki aneka potensi mulai dari pertanian, perkebunan (tanaman perkebunan rakyat), kelautan, dan wisata. Ada juga potensi Sumber Daya Manusia. Pertanian misalnya sejauh ini didominasi oleh pertanahan lahan kering. Persawahan seperti Waikomo, dimiliki secara sangat terbatas. Bisa disebut kurang dari 5%.

Sementara tanaman umu panjang seperti kelapa, kemiri, vanili, kopi, juga tanaman buah seperti alpukat, pisang, dan sebagainya memang berlimpah. Namun semuanya dimiliki dan ditanam secara menyebar. Semuanya itu memang bisa digunakan secara pribadi dan sedikitnya dijual tetapi tidak dalam jumlah yang besar untuk menggerakan roda ekonomi Lembata.

Yentji Sunur lalu melihat bahwa pariwisata bisa menjadi ‘leading sector’. Karena itu selama ini ia terlihat sangat getol mengembangkan spot wisata baru (termasuk Awololong yang jadi sumber kritikan). Di antaranya Festival 3 G (yang oleh banyak orang belum terlihat benefitnya) merupakan contoh dari deretan upaya memajukan Lembata.

Yang terlupakan, daerah wisata baru butuh wisatawan. Memang alam Lembata bisa jadi lebih indah dari Bali dan Lombok. Tetapi wisatawan itu sudah ada di Bali dan tinggal cari spot alternatif. Kalau Lembata, butuh ‘biaya dan waktu ekstra’ untuk bisa sampai di sana. Karena itu yang akan lebih mudah dan terjangkau adalah wisawatan lokal hal mana bisa menggerakan ekonomi setempat tetapi sebenarnya juga tidak memberikan dampak meluas. Hal itu bisa juga dilihat dari dampak ekonomi yang dihasilkan dari festival 3 G. Orang menjadi lelah tetapi hasilnya belum terlihat (seperti diharapkan).

Pengembangan wisata seperti ini akan bermanfaat kalau ada daerah wisata utama. Cotnoh saja Kelimutu dan Komodo. Spot wisata alternatif itu akan menjadi pengiring. Untuk Lembata, posisinya juga masih jauh dari dua tempat wisata ini. Hal itu akan menjadikan perjuangan menata wisata akan seberat seperti mengembangkan pertanian, perkebunan, dan kelautan.

Meski demikian, harus diapresiasi, bahwa ini adalah sebuah terobosan (dengan segala kelebihan dan kekurangannya). Selama ini, Yang diapresiasi, keberanian telah membangun Lembata.

Yang jauh lebih penting adalah mengajukan pertanyaan kepada mereka yang masih ada dan ingin menjadi pemimpin ke depan. Mana idemu? Mana alternatif dan kreativitasmu untuk ‘leading sector’ nanti kalau diberi kesempatan? Selagi jawaban ini tidak diberikan, maka kritikan, cemoohan, cacian, akan juga kembali kepada yang mengucapkan. Itulah berkat dan kutukan yang diyakini ada.

Selamat jalan Pak Yentji Sunur.

*(Robert Bala. Pemerhati Sosial. Tinggal di Jakarta)

Pos terkait