Tanggapi Otto Gusti, Ini Komentar Pater Ansel Bero SVD

Pater Ansel Bero, SVD
Pater Ansel Bero, SVD

NUSALONTAR.COMArgentina – Diskusi tentang pernyataan Pater Otto Gusti yang mengatakan bahwa ada kemungkinan pernikahan LGBT diakomodir Gereja Katolik di masa yang akan datang juga ditanggapi oleh Pater Marcelus (Ansel) Bero, SVD.

Alumnus Seminari Sinar Buana yang kini bertugas di Argentina itu pun menyampaikan tanggapan tertulisnya melalui NUSALONTAR.COM, Kamis (27/05/2021).

Bacaan Lainnya

Pater Ansel mengatakan bahwa dirinya setuju bahwa hukum kodrat menjadi salah satu rujukan untuk tidak menghakimi kaum LGBT sebagai pendosa, dan tidak memandang perubahan orientasi seksual mereka sebagai aib.

“Saya setuju bahwa bahwa hukum kodrat menjadi salah satu rujukan untuk kita tidak menghakimi kaum LGBT sebagai pendosa, dan tidak memandang perubahan orientasi seksual mereka sebagai aib. Karena itu, banyak negara termasuk negara dengan mayoritas Katolik (seperti Argentina, tempat saya bekerja) lewat hukum sipil sudah lama mengakui perkawinan sesama jenis. Namun, ada beberapa catatan personal,” tulis misionaris yang kini jadi rektor di Rumah Formasi SVD Zona America Latin itu.

“Pertama, saya kira kita perlu menghindari pendapat ekstrim dengan menjadikan kesalahan Gereja Katolik di masa lalu sebagai alasan untuk mengubah aturan Gereja terkait perkawinan sebagai sakramen. Gereja mengakui pendapat Galileo tentang matahari sebagai centrum bumi itu karena bisa dibuktikan secara empirik. Sebuah kesalahan yang diakui tidak bisa sertamerta dijadikan alasan untuk mengubah sebuah struktur kebenaran, apalagi jika sebuah kebenaran itu sifatnya teologis dan bukan empirik. Dalam teks Inggris, (UCAnews.com, red) P. Otto berharap Gereja Katolik bisa mengakui pernikahan sesama jenis dalam Gereja Katolik. Pernyataan ini menurut saya ekstrim. Perkawinan sebagai sakramen antara laki-laki dan perempuan sebagaimana ditulis dalam Kitab Kejadian, itu refleksi teologis, dan bukan hasil penelitian empirik. Tuhan menghendaki laki-laki dan perempuan hidup menjadi SATU, dan BUKAN antara laki dan laki atau perempuan dan perempuan. Ini adalah identitas teologis gereja dan keluarga katolik sebagai sakramen, hidup menurut identitas ini. Bayangkan jika gereja kehilangan identitas penting ini,” urai alumnus STFT Widya Sasana Malang ini.

“Kedua, komentar Paus Fransiskus tentang LGBT sudah jelas. Beliau mengatakan mereka itu perlu mendapat tempat dalam keluarga dan masyarakat karena di banyak tempat mereka disingkirkan dan dijauhkan. Sayangnya banyak media masa untuk kepentingan bisnis, mengubah pendapat Paus dengan mengatakan: Gereja Katolik mendorong terbentuknya keluarga baru kaum LGBT. Sungguh kontras dan berbahaya. Pendapat Paus tentang LGBT itu pernyataan humanis, bukan pernyataan kanonik (mengakui pernikahan sesama jenis dalam Gereja). Keluarga-keluarga harus menerima mereka sebagai anggota keluarga yang berhak hidup damai dan bahagia. Paus tidak berbicara mewakili Gereja Katolik sebagai institusi (agama), artinya saya Katolik maka saya mengubah aturan gereja untuk mengakui eksistensi LGBT, tetapi saya humanis maka saya menerima mereka dengan penuh cinta,” paparnya.

“Ketiga, banyak kali sebagai Imam dan misionaris di Argentina saya menumpangkan tangan di atas kepala mereka kaum LGBT, tentu ketika mereka meminta. Banyak dari mereka terlibat aktif juga dalam kegiatan karitatif Gereja. Menumpangkan tangan berarti memberi berkat. Berkat yang diberikan tidak berarti lalu merestui relasi di antara mereka, melainkan menyalurkan cinta Tuhan untuk hidup mereka agar tetap sehat dan bahagia dan meneguhkan mereka untuk hidup sebagai manusia yang baik penuh kasih kepada siapa saja,” jelasnya.

Menurut Pater Ansel, yang paling penting itu bukan menikahkan mereka, tapi membuat mereka merasa dicintai dan diterima apa adanya.

“Point saya sebenarnya sederhana saja. Sebagai gereja tugas kita yang paling utama bukan membawa mereka menikah di Gereja. Itu tidak penting. Tugas kita cuma membuat mereka semakin dicintai, diterima apa adanya. Gereja sebagai institusi dalam konteks ini tdk penting. Kalau di Indonesia mereka diakui secara sipil itu sebuah kemajuan besar. Itu baru Hak Asasi diakui. Untuk apa bicara HAM dengan berharap Gereja Katolik mengubah aturan? Sama sekali tidak relevan,” pungkasnya. (JR)

Pos terkait