Kaya Sumber Daya Tapi Miskin Tata Kelola

ESEI – NUSALONTAR.COM

Oleh: Stefanus Wolo
Misionaris KAE di Keuskupan Basel Swiss

Bacaan Lainnya

Beberapa hari ini saya mendapat undangan makan siang dari tiga keluarga berbeda. “Gantung Periuk”, demikian istilah kami para romo di Ende Flores bila mendapat undangan makan dari umat. Selama hampir tujuh tahun di Swiss saya sering “Gantung Periuk”.

Acara “Gantung Periuk ” ini selalu membawa sukacita. “Periuk dan Kuali” saya tetap bersih dan pada posisi gantung. Dapur dan tungku saya dingin. Saya tidak perlu repot masak. Saya menikmati menu makan dan minum yang bervariasi. Sambil makan dan minum kami berbagi ceritera dengan tuan rumah.

Tema ceritera kami bervariasi. Obrolan kami semakin lama, semakin hangat. Maklum saja botol anggur semakin kosong. Sementara gelas kami selalu penuh terisi. Saking hangatnya “toast/prost” sambil main matapun pun berulang kali. Tidak sampai mabuk, tapi sering berapi-api.

Saya biasanya “mengorek” duluan kisah keluarga mereka di masa lalu. Mulai dari masa kecil, masa sekolah, jatuh cinta dan menikah, hingga pensiun. Banyak kisah jatuh bangun yang begitu dinamis.

Mereka juga “melacak” kisah hidup saya. Mulai masa kecil, masa pendidikan, hidup sebagai imam hingga perutusan ke Basel Swiss. Saya berceritera apa adanya. Sudah pasti saya mengemasnya dengan cara menarik. Kadang-kadang banyak bumbu, kadang-kadang taktis dan diplomatis.

Ada satu pertanyaan menarik dan sama dari ketiga keluarga ini untuk saya. “Stefan, apakah orang-orang di kampungmu dan di paroki-paroki tempat pelayananmu dulu miskin?”

Saya tidak kaget mendengar pertanyaan mereka ini. Mereka membayangkan tanah air saya Indonesia berada di “kawasan selatan” dan masuk dalam jajaran “dunia ketiga”. Kawasan selatan dan dunia ketiga bagi mereka identik dengan kemiskinan dan kesulitan hidup.

Saya tidak malu mendapat pertanyaan seperti itu. Saya justru berterima kasih dan memuji mereka. “Das ist eine gute dan wichtige Frage. Artinya ini adalah pertanyaan bagus dan penting”, kata saya.

Saya mulai membuat narasi tentang Indonesia secara keseluruhan dengan segala hal positif dan istimewa. Saya mengisahkan tentang propinsi saya Nusa Tenggara Timur dengan segala suka dukanya. Saya menceriterakan pulau Flores dengan segala “kekayaan dan keindahannya”. Terkadang saya gunakan tehnik “indah kabar dari rupa”. Banyak “bumbu” agar mereka tidak bosan.

Saya mengisahkan kampung saya Wolorowa Sarasedu. Saya mengisahkan tempat-tempat karya pelayanan imamat saya selama 16 tahun. Saya menjelaskan karakter wilayah Ngada, Nagekeo, Ende Lio. Wilayah-wilayah yang menjadi “locus dan focus” karya pastoral gerejani keuskupan Agung Ende.

Saya katakan pada mereka: “Kemiskinan bagi saya pribadi adalah suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomis untuk memenuhi standar hidup rata-rata masyarakat di suatu daerah. Ketidakmampuan ini ditandai dengan rendahnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Sebut saja sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.

Secara jujur dan lugas saya kisahkan pengalaman saya sebagai “imam dari kampung dan belasan tahun bekerja di kampung-kampung”. Bahwa hal yang paling menonjol adalah “kemiskinan kultural”.

Kemiskinan kultural terjadi sebagai akibat adanya sikap dan kebiasaan seseorang atau masyarakat yang umumnya berasal dari budaya atau tradisi yang relatif tidak mau memperbaiki cara hidup dengan cara yang lebih berkualitas. Contoh konkret kebiasaan kultural ini adalah kemalasan, pemborosan, tidak hemat, kurang kreatif, kurang memanfaatkan waktu kerja secara efektif.

Kami sesungguhnya memiliki sumber daya alam yang cukup, bahkan kaya. “Kami kalah dalam mentalitas dan miskin dalam tata kelola kehidupan”.

Saya sama sekali tidak berpretensi menelanjangi diri sendiri dan kampung halaman saya di hadapan mereka. Saya mau katakan bahwa orang-orang di kampung halaman saya bisa keluar dari belenggu dan stigma kemiskinan bila berani mulai mengelola kehidupan secara lebih baik.

Katakanlah mulai menata manajemen tata kelola kehidupan mulai dari rumah tangga. Itu artinya perlu “pembiasaan” dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi sejak awal membangun keluarga baru.

Saya kira manajemen sederhana ini membantu kita bisa disiplin dalam kerja, mengatur keuangan dan sumber daya lainnya. Kita bisa kreatif mencari kemungkinan lain. Kita bisa menghindari hutang yang tidak perlu. Kita bisa melawan kultur pemborosan.

Kita menghindari diri dari persaingan yang tidak sehat dan gaya hidup yang tidak teratur. Kita bisa mengatur pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan secara lebih baik. Meski kita hidup sederhana, tapi kita bahagia karena kebutuhan pokok kita terpenuhi. Betapa sering kita kita mengorbankan kebutuhan primer hanya untuk hal-hal sekunder.

Orang-orang Swiss jaman dulu terkenal sangat miskin. Mereka banyak hidup di wilayah pegunungan. Cuaca sangat dingin. Selain itu alam juga sangat keras dan menantang. Situasi ini membentuk karakter kerja keras mereka. Mereka ulet dan bangkit berjuang.

Satu kehebatan orang Swiss adalah tepat waktu. Tepat waktu adalah hal yang sudah mendarah daging bagi mereka. Bagi mereka, kebiasaan tepat waktu bisa menjadi salah satu sumber kebahagiaan. Swiss menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Pendapatan per kapita sangat tinggi. Juga negara paling indah, aman, bersih dan mahal.

Alat-alat transportasi di Swiss misalnya bus, kereta, kapal hampir selalu tepat waktu. Swiss juga menjadi negara paling terkenal dan terkemuka dalam industri “pengatur waktu” yaitu jam-jam tangan.

Prinsip orang Swiss: “Seorang yang tepat waktu adalah seorang yang penuh perhatian. Saya menghargai waktu anda, dengan demikian saya menghargai anda”.

Kita kaya sumber daya, tapi miskin tata kelola. Kita bisa keluar dari kemiskinan bila kita mengelola sumber daya kehidupan kita secara baik, teratur dan berkualitas. Kita sangat kaya dengan waktu. Saking kayanya, banyak waktu yang kita buang untuk kegiatan-kegiatan non-produktif. Mari kita mulai dari sel masyarakat yg terkecil, tapi terpenting yaitu Keluarga.

Ini rumah tinggalku di Eiken AG Swiss.
Hampir tujuh tahun tinggal di rumah ini. Sebagai misionaris saya belajar mengelola “ekonomi kehidupan sendiri dan mandiri”.

 

Pos terkait