Sepasang “Merpati Tua”, Sebuah Kisah Iman dari Swiss

Irmgard dan Ulrich, pasangan 'Merpati Tua' dari Swiis'

NUSALONTAR.COM – Inspirasi

Oleh: Stefanus Wolo Itu
(Imam Projo Keuskupan Agung Ende – Misionaris di Keuskupan Basel Swiss)

Bacaan Lainnya

Sabtu, 26 Juni 2021 kemarin saya merayakan Ekaristi syukuran “intan perkawinan” satu keluarga. Irmgard dan Ulrich merayakan 60 tahun pernikahan mereka. Ini pengalaman kedua saya. Tahun 2017 saya rayakan untuk pasangan Toni dan Rosmarie. Luar biasa!

Saya mengenal mereka tahun 2015. Mereka rajin ke gereja. Irmgard adalah mantan penata bunga di gereja dasawarsa 1970 an. “Karena itu saya selalu rindu ke gereja”, kata Irmgard.

Jarak rumah mereka ke gereja sekitar 800 an meter. Dekat di mata, tapi jauh di kaki untuk ukuran orang-orang uzur seperti Irmgard dan Ulrich. Irmgard menggunakan kursi roda. Sementara Ulrich setia mendorong. Sejoli tua ini selalu bersama. Entah ke gereja, restaurant atau berbelanja.

Mereka berdua juga humoris. Dan sering tampil romantis. Ya, tak kalah romantis dengan yang lebih muda. “Kami ini pasangan setia MERPATI TUA. Merpati tua yang sejak muda tidak pernah ingkar janji satu sama lain”, kata Ulrich yg sering ceplas ceplos.

Tahun 2017 keduanya semakin usur. Mereka tidak bisa keluar jauh dari rumah. Ke gereja juga susah. Saya menawarkan diri untuk membawa komunio setiap bulan. Mereka menerima baik tawaran saya. Mereka sangat bersukacita. Sejak itu setiap jumat pertama dalam bulan jam 10.00 saya membawa komunio untuk mereka di apartemen. Acara rutin kami adalah pengakuan dosa, komunio, doa berkat. Kami menutup mulia pertemuan jumatan kami dengan minum kopi dan tentu saja kue-kue terbaik.

Saya sering membawa gitar. Kadang kami menyanyi sama-sama. Sering juga saya menyanyi sendiri. Kami menyanyi lagu-lagu tua gerejani. Saya menyanyikan lagu-lagu Indonesia. Mulai dari Burung Kaka Tua hingga Bahasa Cinta. Mulai dari Potong Bebek Angsa hingga Allah Mahakuasa. Mulai dari lagu Dari Terbit Matahari hingga lagu Burung Hantu.

Saya pernah bermain gitar sambil bersiul. Irmgard dan Ulrich ternyata sangat senang menikmati siulan saya. Sejak itu mereka sering meminta saya main gitar sambil bernyanyi atau bersiul. Tak disangka anak mantu mereka Sebastian juga bisa siul seperti saya. Pernah Sebastian dan saya bersiul didepan mereka. Pasangan “merpati tua” ini tertawa terbahak-bahak.

Irmgard dan Ulrich mempunyai tiga anak. Si sulung Michaela menikah dengan Nicola. Erika menikah dengan Sebastian dan dikaruniai puteri semata wayang Rebeka. Stefan si bungsu memilih Evelyn sebagai teman hidupnya. Kami sering bertemu. Persahabatan kami semakin akrab karena intensitas pertemuan itu.

Bulan Maret, Irmgard dan Ulrich meminta saya untuk merayakan ekaristi 60 tahun hidup perkawinan mereka. Dalam bahasa Jerman disebut “Diamante Hochzeit atau Intan Perkawinan”. Saya menerima permohonan itu. Saya siap merayakan Ekaristi secara meriah. Saya berusaha menyanyikan dua lagu Indonesia. Dan tak kalah seru, “saya berjanji untuk berpakaian adat Flores membawakan satu tarian dari Flores saat resepsi sederhana”.

Saya tanya: “mengapa mereka rayakan intan perkawinan dalam Ekaristi?” Mereka menjawab: “Kami ingin berterima kasih pada Tuhan atas anugerah kehidupan dan ziarah panjang hidup perkawinan. Tuhan hadir secara nyata dalam kehidupan kami”. Suatu ungkapan syukur yang istimewa. Ungkapan pengalaman kehadiran Allah di tengah situasi sekular, material dan ateistis.

“Supaya bisa merasakan arti hidup, kita perlu memiliki sikap tahu bersyukur. Kehidupan kita menjadi sulit bila kita tidak bersyukur. Rasa syukur kita itu seperti kacamata. Berkat bantuannya kita bisa melihat kebaikan dalam diri orang lain”, kata mereka berdua. Rasa syukur mengajarkan mereka untuk berpikir benar tentang diri sendiri, sesama dan Tuhan.

Saya ingat kata “DANKEN atau berterima kasih” dalam bahasa Jerman sesungguhnya berasal dari kata “DENKEN atau berpikir”. Siapa yang berpikir benar, dia juga berterima kasih. Siapa yang berpikir tentang kehidupannya, dia tidak akan bersikap lain, selain berterima kasih atas semua anugerah Tuhan dalam hidupnya.

Rasa syukur adalah ungkapan hati. Orang yang tahu bersyukur adalah mereka yang berpikir dengan hati. Orang yang tidak tahu bersyukur bukanlah manusia sejati. Mereka tidak berpikir, tapi melupakan begitu saja anugerah-anugerah kehidupan. “Orang yang tidak tahu berterima kasih itu lebih jelek dari pencuri”, kata Talmud Yahudi.

Saat kotbah singkat, saya mengutip Markus Tullius Cicero, intelektual multidimensi Romawi Kuno tentang rasa terima kasih. “Die Dankbarkeit ist eine Bedingung, für eine wahre Freundschaft. Nur dankbare Menschen können Freundschaft eingehen und mitneinander Gemeinschaft leben. Artinya rasa terima kasih adalah prasyarat untuk sebuah persahabatan sejati. Hanya manusia yang tahu berterima kasih dapat hidup bersama”.

Perayaan intan perkawinan ini hanya dihadiri keluarga inti dan beberapa teman dekat. Meski demikian perayaan ekaristi sangat meriah. Organis kami mengiringi lagu-lagu dengan orgel dan gitar. Kami menyanyikan lagu sesuai permintaan para Jubilaris. Ada lagu Ave Maria Schubert, lagu Berkati Ya Bunda dalam bahasa Jerman. Setelah doa pemberkatan untuk Jubilaris, pemberkatan lilin dan pemasangan lilin saya dan organis menyanyikan lagu Halleluja Leonard Cohen versi Jerman.

Setelah misa kami berkumpul di rumah salah satu puterinya. Jubilaris mengingatkan saya untuk setia pada janji untuk berbusana adat Flores. “Kami sudah menjadi MERPATI TUA yang setia sampai 60 tahun perkawinan. Stefan harus menjadi IMAM, MERPATI FLORES yang tidak pernah ingkar janji tampil dalam resepsi sederhana kami”.

Romo Stefanus Wolo saat membawakan tarian Wanda Pa’u untuk menghibur Irmgard dan Ulrich

Saya menepati janji saya pada PASANGAN MERPATI TUA. Saya mengenakan sarung Mbay dan hem warna biru. Ada pengikat kepala (lensu) dan bere weko (tas kecil anyaman pandan utk lelaki Ngada Nagekeo). Sebagai ganti selendang, saya lilitkan “boku toro” atau lensu Bajawa pada leher saya.

Saya menyanyikan lagu Bahasa Cinta dan Ave Maria Pance Pondang dengan iringan gitar. Saya setia pada janji saya. Di depan Irmgard dan Ulrich, anak dan menantu, cucu mereka Rebeka, saya membawakan tarian Ende Lio “Wanda Pa’u” untuk mereka.

Saya menjelaskan secara singkat. Wanda artinya tarian. Pa’u artinya over atau lempar. Wanda Pa’u artinya tarian saling mengover selendang. Tarian ini biasanya diiringi feko genda (suling gendang) atau atau nggo lamba (gendang dan tambur). Tapi kali ini saya menari tanpa iringan suling gendang.

Lagu Nuaroi dari Youtube dengan bantuan Bluetooth dan speaker aktif mengiringi saya. Lagu ini lahir dari rahim Wolotopo, tempat karya saya yg terakhir sebelum ke Swiss. Saya tidak mengover selendang pada Yubilaris. Saya menari sambil “melempar dan mengover senyuman” pada mereka. Tentu saja tidak sehebat “Maestro Tari” Wolotopo, bapak saya Yakobus Ari. Tapi saya bisa goyang jenaka ala om Martinus Ru’i atau Kae Wari dan Lusia Lawo dari Wolotopo. Saya menjadi “Lelaki dan Rembulan Penghibur” sehari. Imam membawa sukacita.

Resepsi kami pada sebuah taman samping rumah. Suasana sangat sejuk. Peserta resepsi 10 orang. Saya menjadi penari tunggal “Wanda tanpa Pa’u” dihadapan 9 orang itu. Sedikit tapi meriah, kecil tapi berkualitas.

Die Dankbarkeit verwandelt das Leben. Der Dankbare sieht sein Leben mit neuen Augen. Artinya rasa syukur mengubah kehidupan. Orang yang bersyukur melihat kehidupannya dengan mata baru”.

Saya merindukan orang-orang di kampung halaman saya yang “berani mengubah kehidupan dengan cara mensyukuri penerimaan sakramen-sakramen gerejani(terutama sambut baru, nikah dan urusan kematian) dengan mata baru”. Kita yang bersyukur mesti memiliki AGENDA PERUBAHAN.

Robert T. Kiyosaki, investor, motivator, penulis buku “Rich Dad, Poor Dad” dari Amerika bilang begini: “Filosofi orang kaya dan miskin adalah bahwa orang kaya menginvestasikan uang dan menghabiskan sisanya. Sementara orang miskin akan menghabiskan uang dan menginvestasikan sisanya”.**

Pos terkait