OPINI – NUSALONTAR.COM
Oleh: Fr. Beatus R. Seran
Pengantar
Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan objek, bisa juga diartikan suatu pendapat atau perbuatan seseorang yang sesuai dengan orang lain dan tidak merugikan diri sendiri. Kebenaran adalah lawan dari kekeliruan yang merupakan objek dan pengetahuan tidak sesuai.
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human, sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Dalam bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Pergumulan manusia dalam kehidupannya guna mencari dan menemukan kebenaran yang esensial melahirkan beberapa pertanyaan mendasar, yaitu apakah kebenaran itu sungguh ada? Dan kalau ada, apakah kebenaran itu? Bagaimanakah manusia memperolehnya? Bagaimanakah sifat dari kebenaran itu sendiri, yaitu apakah dia bersifat relatif ataukah bersifat mutlak? Dan pertanyaan-pertanyaan itu akan terus berkembang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi manusia itu sendiri.
Adalah berawal dari masa Yunani Kuno yaitu salah satu tokohnya Socrates, sekalipun secara tidak langsung, yang telah meletakkan dasar-dasar kebenaran ilmiah dengan pengandaiannya bahwa ada kebenaran objektif, ada kelakuan yang baik dan ada kelakuan yang kurang baik. Kemudian ada tindakan yang pantas dan ada tindakan yang jelek. Kemudian dilanjutkan oleh muridnya Plato yang mengatakan bahwa kebenaran itu sebagai ketidaktersembunyian adanya tidak dapat dicapai manusia selama berada di dunia ini. Dengan kata lain, menurut Plato kebenaran adalah sesuatu yang terdapat pada apa yang dikenal atau pada apa yang dikejar untuk dikenal. Dari perdebatan antara guru dan murid ini sedemikian rupa telah menebarkan sikap kritis , terbuka, dan dialogis di kalangan filsuf yang terus ditumbuh kembangkan sehingga membentuk suatu sejarah perkembangan filsafat yang dapat di simpulkan kepada yang sifatnya pertama secara linier (garis lurus) menuju kepada progresifisme. Kedua perkembangan filsafat itu bersifat dialektis. Kemudian ketiga perkembangan yang secara berputar (sirkuler), merupakan pengulangan-pengulangan.
Konsep Kebenaran Menurut Mahatma Gandhi (Filosofi Satyagraha)
Prinsip Gandhi, satyagraha, sering diterjemahkan sebagai “jalan yang benar” atau “jalan menuju kebenaran”, telah menginspirasi berbagai generasi aktivis-aktivis demokrasi dan anti-rasisme seperti Martin Luther King, Jr. dan Nelson Mandela. Gandhi sering mengatakan kalau nilai-nilai ajarannya sangat sederhana, yang berdasarkan kepercayaan Hindu tradisional: kebenaran (satya), dan non-kekerasan (ahimsa).
Satyagraha adalah sebutan untuk gerakan perlawanan rakyat sipil untuk memprotes monopoli garam yang diberlakukan oleh pemerintahan Inggris di India. Gerakan Satyagraha dipimpin oleh Mahatma Gandhi dengan alasan bahwa garam merupakan kebutuhan vital bangsa India. Aturan monopoli garam yang ditetapkan Inggris berisi larangan untuk mengumpulkan atau menjual garam dan paksaan untuk membeli garam kepada Inggris dengan pajak yang tinggi.
Pada tanggal 12 Maret 1930, Gandhi dan 78 pengikutnya berpawai ke kota Dandi yang terletak di Pantai Laut Arab yang berjarak 241 mil. Setelah mereka sampai di Dandi, mereka memulai gerakan penyulingan garam dari laut. Gerakan ini dengan segera meluas ke seluruh India, termasuk Bombay dan Karachi. Tentara Inggris turun tangan menghadapi perlawanan rakyat India dan menahan 60 ribu orang, termasuk Gandhi. Namun, gerakan Satyagraha terus berlangsung, sampai akhirnya Gandhi dibebaskan dan bersedia menghentikan gerakan itu dengan kompensasi akan diadakan untuk menentukan masa depan India.
Satyagraha dalam bahasa Sanskrit berarti “memegang teguh kebenaran”. John Dear dalam buku Intisari Ajaran Mahatma Gandhi: Spiritual, Sosio-Politik, dan Cinta Universal (2007, hlm. 8) menjelaskan bahwa Satyagraha merupakan gerakan moral dan sosial tanpa kekerasan fisik sama sekali. Konsepnya berakar dari filosofi ahimsa yang bermakna anti kekerasan dalam tradisi pemikiran India.
Di India awal abad ke-20, Satyagraha adalah gerakan pembangkangan sipil yang mencolok dan efektif. Meski dilakukan secara damai, efeknya bisa membuat Pemerintah Kolonial Inggris ketar-ketir. Tak heran jika beberapa gerakan perlawanan sipil di beberapa negara lalu mengadopsi konsepnya.
Salah satu protes paling keras dari Gandhi ditujukan pada aturan pajak yang ditetapkan Inggris. Melalui surat kabar mingguannya, Young India, Gandhi mengajak masyarakat menuntut besaran pajak yanga lebih adil terhadap orang-orang kaya dan atas beberapa barang kebutuhan pokok. Prinsip perlawanan sipil ini sederhana: Pemerintah Kolonial Inggris akan menyerah jika gagal meraup cukup uang dari pajak. “Resistensi pasif merupakan ekspresi sesungguhnya dari kekuatan cinta dan kebenaran yang dahsyat,” tutur Gandhi.
Perbandingan dengan Masalah Aktual Saat Ini
Masalah tentang kebenaran selalu menjadi masalah yang aktual di zaman ini. Hal ini disebabkan karena manusia kurang menghargai kebenaran. Kebenaran dilihat hanya sebagi hal yang biasa atau hal yang sangat membebankan. Hasilnya kebenaran selalu diabaikan dan selalu disepelekan. Bahkan ada orang-orang tertentu yang di dalam hidupnya tidak pernah ada kebenaran atau dalam arti tidak kenal dengan baik apa itu kebenaran. Ada juga pihak-pihak tertentu yang selalu mencari cara untuk membelokkan kebenaran demi tujuan tertentu. Segala cara ditempuh untuk membelokkan kebenaran.
Realitas yang ada menunjukkan bahwa manusia yang menerjemahkan kebenaran mengarah pada satu tujuan untuk menghasilkan banyak materi. Ide-ide yang dikatakan benar pun disalahgunakan hanya dengan motif agar masyarakat mengakuinya dengan label berbeda. Penggunaan yang salah atas ide-ide kebenaran tersebut didukung pula dengan gelar dan sertifikat yang diperoleh seseorang.
Pertanyaannya apa itu kebenaran? Kebenaran seperti apa yang berguna bagi manusia? Sudah sejak lama kebenaran dipertanyakan bahkan dipermasalahkan. Kebenaran yang dipahami secara bersama yaitu kesesuaian antara ide dan kenyataan. Atas dasar inilah maka kebenaran dituntut untuk diperjuangkan agar kehidupan ini menjadi harmoni. Kebenaran yang dituntut oleh Mahatma Gandhi adalah soal kebenaran sosial dan moral. Kebenaran tentang sosial dan moral adalah kebenaran yang tidak disertai dengan kekerasan. Lebih lanjut Gandhi menegaskan bahwa kebenaran harus diperjuangkan tetapi harus secara moral dan sosial pula, dalam arti bahwa untuk menempuh jalan kebenaran harus dicapai dengan jalan damai.
Penutup
Kebenaran merupakan salah satu nilai vital dalam kehidupan manusia. Kebenaran dapat menjadikan seseorang pribadi yang bermoral dan berjiwa sosial. Nilai dari sebuah kebenaran dapat membantu manusia untuk bisa menganalisis serta memutuskan suatu hal dalam hidupnya agar bisa mencapai taraf hidup yang lebih baik.
Nilai kebenaran dalam kehidupan harus diperhatikan oleh setiap individu. Sebab menurut Mahatma Gandhi, kebenaran akan mengatasi semua kekerasan yang ada di dunia ini. Karena hanya dengan hidup benar manusia bisa damai dan rukun satu sama lain.*