Icha, Sales dan Pendamping Anak-Anak Sekami Bertato

Icha Bange (Foto: Istimewa)
Icha Bange (Foto: Istimewa)

NUSALONTAR.comEnde – “Pernah kaka, dia pergi antar kopi ke para pelanggan, anaknya yang berumur satu tahun ditaruh di depan, sedangkan belasan kardus kopi diikat di belakang motor,” tutur Herlyn, sahabat Icha kepada NUSALONTAR, Selasa (09/03/2021).

Icha Bange adalah seorang Ibu muda beranak satu. Pernah kuliah di Fakultas Komunikasi di sebuah Perguruan Tinggi swasta yang ada di kota Yogyakarta. Namun cita-cita Icha kandas karena terlanjur mengandung anak hasil hubungannya dengan sang pacar.

Bacaan Lainnya

Karena sudah berbadan dua, Icha memutuskan untuk berhenti kuliah dan ikut ke tempat pacarnya. Namun relasinya dengan orang yang telah membuatnya berbadan dua tidak terjalin mulus. Atas beberapa pertimbangan akhirnya Icha pulang ke rumah orang tuanya, dan memutuskan untuk membesarkan anaknya sendirian. Dari sanalah awal perjuangan Icha dalam menantang kerasnya kehidupan.

Setelah lepas dari ‘calon suami’ yang telah memberinya seorang anak, Icha hanya fokus pada pemikiran: bagaimana ia bisa membesarkan anaknya tanpa harus merepotkan siapapun, termasuk kedua orang tuanya.

Icha kemudian melamar pekerjaan di sebuah swalayan yang cukup besar di kota Ende. Namun ternyata ada isu yang masuk ke pihak perekrut tenaga kerja di swalayan itu bahwa dirinya memiliki tato. Padahal, menurut Icha, dia memang punya tato, tapi di tempat yang yang tertutup, sehingga ketika mengenakan baju tato itu tidak kelihatan. Pihak swalayan bahkan hendak berusaha untuk memeriksa tatonya. Ujungnya, pihak swalayan tidak menerimanya untuk bekerja di tempat itu.

Icha mengatakan, dirinya memang cukup kecewa dengan alasan yang mereka kemukakan. Menurut dia, harusnya keterampilan yang diutamakan, kenapa malah tato yang bahkan tidak kelihatan yang dipermasalahkan. Tapi sudahlah, katanya, itu hak mereka.

Setelah gagal pada lamaran pertamanya itu, Icha kemudian ditelepon oleh kawannya. Ada lowongan untuk jadi sales, kata kawan yang menghubunginya itu. Kata Icha, sebetulnya dia malu untuk jadi sales, karena kebanyakan teman-teman sekolah, juga teman-temannya yang sama-sama kuliah di Jawa dulu sudah punya pekerjaan yang bagus. Selain itu, dia tidak punya pengalaman apapun untuk jadi sales.

Namun, melihat wajah anaknya, dia akhirnya menanamkan sikap positif dalam pikirannya. Icha tidak mau anaknya nanti harus ‘tadah tangan’ di orang lain, atau di orang tuanya sekalipun. Icha ingin anaknya bisa bertumbuh dalam kecukupan laiknya anak-anak lain yang punya orang tua utuh. Apalagi, kata Icha, dirinya sudah bersalah pada kedua orang tuanya, karena hamil sebelum nikah, sebelum kelar kuliah, juga tidak bisa bersama dengan orang yang telah menghamilinya. Icha tidak ingin menambah beban pada kedua orang tuanya.

Atas pertimbangan-pertimbangan itu, Icha akhirnya mau jadi sales. Pekerjaan pertama Icha adalah jadi sales salah satu produk kopi. Tiap hari Icha berkeliling di pasar untuk menjajakan barang dagangannya. “Kalau kaka ke Pasar Ende, kaka tanya saja nama saya, para pedang pasar itu tau saya semua,” katanya sambil tertawa.

Lanjut Icha, saat itu anaknya baru berumur satu tahun empat bulan-an. Ayahnya yang menjaga anaknya saat awal-awal dia berjualan. Tapi Icha tidak merasa tenang meninggalkan anaknya di rumah. Karena itu, pagi-pagi dia ke kantor untuk absen sekaligus ambil barang, lalu cepat-cepat ke rumah untuk jemput anaknya, lalu mereka sama-sama ke pasar.

“Saya taruh dia di depan kaka, dos-dos kopi di belakang. Sampai di pasar saya titip dia di tempat orang jual nasi kuning, lalu saya keliling untuk tawarkan kopi. Jadi anak saya sudah tahu seperti apa ibunya karena sudah terbiasa sejak kecil,” kisahnya.

Icha saat mengantarkan jualannya
Icha saat mengantarkan jualannya

Kata Icha, hanya satu tahun dia jadi sales di perusahaan kopi itu. Setelah itu dia pindah ke perusahaan jasa keuangan. Sempat juga di perusahaan kosmetik, sebelum kembali ke perusahaan kopi (sekarang) tapi di perusahaan atau produk yang berbeda.

Di perusahaan kosmetik juga ada cerita yang unik. Waktu itu, seperti saat pertama kali melamar di swalayan, ada yang membocorkan isu bahwa dia bertato. Tapi, bukannya menolak, tapi pihak perekrut malah langsung berdiskusi soal gaji. Rupanya mereka melihat rekam jejak pekerjaannya. Dari situ Icha menyimpulkan bahwa yang dibutuhkan perusahaan swasta adalah kompetensi, skill. Memang ada juga perusahaan yang memperhatikan penampilan, tapi itu juga tergantung jenis perusahaannya.

Karena pengalaman kerjanya yang beragam, Icha tidak sulit mendapat pekerjaan baru jika resign dari tempat kerjanya yang lama. Bahkan di tempat yang baru dia selalu mendapat posisi yang bagus lantaran pihak perusahaan melihat rekam jejaknya. Tatonya pun tidak jadi masalah.

Saat ditanya tentang anaknya, Icha menceritakan bahwa putranya kini sudah kelas V SD. Namanya Sandro. Menurut Icha, Sandro sangat memahami kehidupannya. Mulai dari pekerjaan, hingga tato-tatonya. Teman-teman Sandro juga sudah paham karena tiap kali teman-temannya bertanya atau mengolok-olok dia, Sandro selalu bilang bahwa meski ibunya bertato tapi ibunya punya pekerjaan yang bagus, punya uang.

“Pernah teman Sandro bilang (sinis), eh, Sandro, kau punya mama itu punya tato. Tapi Sandro jawab, Iya mama saya punya tato tapi bisa bawa motor dari Ende ke Labuan Bajo, kau punya mama bisa tidak, kata Sandro pada temannya,” kisah Icha sambil tertawa renyah.

Icha Bange
Icha

Tentang tato-tatonya, Icha menuturkan, itu adalah ekspresi seni. Menurut dia, banyak juga teman-temannya yang mau juga ditato seperti dirinya, tapi tidak sanggup mengahadapi anggapan masyarakat. Mereka kuatir dianggap bukan perempuan baik-baik.

Icha sendiri tidak terlalu peduli dengan anggapan orang. Bagi dia, yang penting kedua orang tua dan saudara-saudaranya tidak masalah, baginya itu sudah cukup. Apalagi Icha paham betul kapasitas dirinya. Dia juga bertato hanya untuk mengekspresikan perasaan estetik/perasaan seninya. Tidak lebih.

Selain itu, Icha ternyata seorang pendamping anak-anak Sekami di gerejanya. Icha mengisahkan bahwa dirinya sudah jadi pendamping Sekami sejak kelas 2 SMA. Sempat berhenti saat kuliah dan punya anak di luar nikah. Tapi sekarang sudah kembali mendampingi anak-anak sekali.

Kadang-kadang, katanya, ada juga romo-romo yang kenal dekat dengannya bertanya kenapa tubuhnya ditato. Icha hanya menjawab bahwa dia suka dan itu adalah ekspresi seni-nya. Ada pula yang bertanya, bagaimana dengan tanggapan anaknya. Icha menjawab, dia sudah menjelaskan pada anaknya (Sandro) tentang hal itu. Icha juga bilang bahwa Sandro juga berhak untuk bikin tato nuga, tapi jika sudah bisa ambil keputusan sendiri, sudah bisa menghasilkan uang sendiri.

Tahun 2018 Icha menikah dengan pria keturunan Timor Leste. Ternyata suaminya itu juga tukang tato. Icha bilang, suaminya sama sekali tak mempersoalkan tentang tato-tatonya. Mungkin karena orang Timor Leste juga punya semacam kebiasaan membuat tato nama orang-orang yang disayangi di beberapa bagian tubuh mereka.

Icha juga beryukur karena mendapat suami yang menerima dirinya apa adanya, juga sangat mendukungnya, terutama dalam hal pekerjaan. Kata Icha, sebelum menikah dengan suaminya ini, pernah juga ada beberapa pria yang mendekatinya. Namun dia selalu bilang ke orang-orang yang mendekatinya, jika keluarga mereka tak bisa terima dia apa adanya, tak usah dipaksakan. Jangan sampai menimbulkan persoalan di kemudian hari.

Kini, selain punya pekerjaan tetap di perusahan kopi, Icha juga menjalankan salon keliling. Dia mendatangi orang yang punya hajatan dan ingin menggunakan jasanya untuk merias mereka. Bukan hanya di dalam kota, tapi juga di luar kota.

Ketika ditanya soal bayaran, Icha menuturkan bahwa biasanya dia tanya dulu kemampuan mereka. Bagi dia, yang paling penting adalah membuat mereka merasa bahagia di hari gembiranya. “Banyak orang ingin kelihatan cantik dan tampan di hari bahagia mereka, tapi mereka mungkin tidak punya cukup uang. Saya ingin bisa bantu mereka, membuat mereka merasa tampan dan cantik di hari bahagia mereka. Seberapa mereka bisa membayar saya akan terima. Syukur-syukur jika mereka bisa sesuai dengan harga yang dipatok,” ujarnya.

Di akhir penuturannya Icha menyampaikan, “Kemarin kita baru saja merayakan hari perempuan sedunia. Di tengah riuhnya kampanye kesetaraan gender masih saja ada stereotipe atau stigma buruk terhadap kaum perempuan. Melihat laki-laki bertato semua orang bisa maklumi, tapi ketika ada perempuan yang bertato, selalu saja ada pandangan miring, bahkan tidak sedikit yang menilai bahwa itu pasti bukan perempuan baik-baik.”

Icha berharap semoga perempuan bisa sungguh-sungguh diberi ruang yang sama dalam segala aspek kehidupan. Dan itu mesti dimulai dari cara kita memandang perempuan. “Budaya patriarki membuat laki-laki maupun perempuan membangun stereotipe, namun kita harus melawan itu,” ungkapnya.

Herlyn Reku, sahabat yang sudah cukup lama mengenal Icha karena sering melakukan pekerjaan yang sama, mengungkapkan kekagumannya pada ibu satu anak itu. “Dia benar-benar perempuan tangguh. Selain pekerja keras, dia juga tipe perempuan yang berani mempertanggungjawabkan apa saja yang sudah menjadi keputusannya. Dia juga anti mainstream. Saya kagum,” tutur aktivis OMK Onekore ini.

Menurut Herlyn, kita butuh sosok seperti Icha untuk membongkar streotype yang keliru, bahkan mengkerdilkan peran kaum perempuan. Dan Icha, kata Herlyn, adalah sosok pemberani yang mau melawan ketidakadilan itu; bukan dengan kata-kata, tapi dengan sikap dan tindakannya. (JR)

Pos terkait