Karya lain Henk Ngantung adalah logo Pemprov DKI yang juga masih dipakai di kantor kantor pemerintah dan menjadi emblem di bahu seragam semua PNS ibukota, hingga kini.
Di hari tuanya seniman dan gubernur pecatan Orde Baru ini menjalani hidup tanpa uang pensiun, miskin, sakit sakitan hingga buta (akibat glukoma) karena tak mendapat pengobatan sepatutnya. Sedangkan anak anaknya kesulitan mencari kerja karena dianggap “anak PKI”.
Sebelum ditunjuk menjadi Wakil Gubernur (1960-64) dan Gubernur Jakarta (64-65), Henk Ngantung adalah seniman pelukis dan pengurus di Lekra. Dia bersahabat dengan Chairil Anwar, Asrul Sani, Bung Karno dan Nyoto.
Aktivitasnya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap dekat dengan PKI membuat karier politik Henk Ngantung tamat pasca-terjadinya Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Sebagaimana Bung Karno yang menjalani tahanan rumah dan sakit-sakitan hingga ajal menjemput, seniman pelukis dan gubernur itu pun wafat mengenaskan pada 12 Desember 1991 di usia 70 tahun.
Hendrik Hendrikus Joel Ngantung merupakan putra dari pasangan Arnold Rori Ngantung dan Maria Magdalena Kalsun. Lahir 1 Maret 1921 di Manado.
Orang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda. Ia mulai melukis sejak usia 13 tahun, dan memperdalam ilmu melukisnya di tahun 1937 ketika ia menetap di Bandung, Jawa Barat.
Salah satu guru melukisnya adalah pelukis terkenal asal Austria, Rudolf Wengkart.
Kejeniusannya di bidang seni lukis dibuktikannya ketika menggelar pameran lukisan tunggal di Manado, tahun 1936, atau ketika ia berumur 15 tahun.
Pada 1940, Henk Ngantung hijrah ke Batavia atau Jakarta yang saat itu masih menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Di ibukota, Henk bergiat di Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Di sini pula, ia mulai berinteraksi dengan pelukis kenamaan, Sudjojono.
November 1946, Henk Ngantung menjadi salah satu pendiri Gelanggang Seniman Merdeka yang menghimpun kaum seniman Angkatan 45, termasuk Chairil Anwar, Baharuddin M.S., Mochtar Apin, Basuki Resobowo, Asrul Sani, dan lainnya.
Henk juga dikenal sebagai pelukis yang mengilustrasikan berbagai peristiwa sejarah penting di Republik ini dalam bentuk lukisan sketsa. Beberapa peristiwa sejarah tersebut antara lain Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville.
Sebagian lukisan sketsa bersejarah ini didokumentasikan dalam buku “Sketsa-Sketsa Henk Ngantung dari Masa ke Masa”, yang diterbitkan oleh Sinar Harapan pada tahun 1981.
Karya lukisan Henk yang kebanyakan bernuansa realis menarik minat Bung Karno. Sampai-sampai Presiden pertama RI itupun menjadikan beberapa karya Henk sebagai bagian dari koleksi lukisannya.
Henk Ngantung bahkan membuat lukisan “Memanah” dengan Bung Karno sebagai modelnya. Dua karya ini menjadi koleksi Bung Karno.
Pada Agustus 1948, Henk Ngantung menggelar pameran di Gedung Taman Siswa Kemayoran & Hotel Des Indes di kawasan Harmonie – Jakarta.
Henk, dekat dengan kelompok kiri yang beraliran seni realisme. Saat itu berkembang jargon / semboyan, “Seni untuk Rakyat – bukan Seni untuk Seni”.
Henk Ngantung tercatat sebagai Sekretaris Umum Lekra, wadah kebudayaan yang disebut-sebut dekat dengan PKI. Ia juga menjabat salah Ketua Lembaga Seni Rupa (Lesrupa) yang merupakan bagian dari Lekra.
Menurut kesaksian Evelyn Mamesah isteri almarhum, “Bergabungnya pak Henk ke Lekra semata-mata karena kecintaannya terhadap seni, ” katanya.
Sedangkan Iwan Simatupang, sastrawan asal Sibolga yang pada masa itu mengambil sikap anti komunis, menganggap bergabungnya Henk ke Lekra karena persahabatan Henk dengan Njoto, tokoh PKI yang juga pendiri Lekra.