PERSPEKTIF – NUSALONTAR.COM
Dalam beberapa hari terakhir ini ramai pemberitaan tentang kerumunan yang dilakukan oleh para pejabat NTT di Pantai Otan, Pulau Semau. Kerumunan di Pulau Semau itu diduga melanggar protokol kesehatan Covid-19. Video dan foto kerumunan itu kemudian menjadi viral di berbagai media massa dan juga media sosial.
Berbagai pihak menyoroti kegiatan yang diselenggarakan oleh Bank NTT sebagai salah satu sponsornya itu. Ada yang mengkritisi dengan dengan sangat keras, ada juga yang mengingatkan bahwa perbuatan para pejabat tinggi itu dianggap menjadi preseden buruk bagi masyarakat.
Ombudsman Perwakilan Nusa Tenggara Timur (NTT) menilai pesta yang menimbulkan kerumunan dihadiri oleh Gubernur NTT Viktor B Laiskodat bersama sejumlah kepada daerah se-NTT di Semau, Kabupaten Kupang dapat menjadi preseden buruk yang akan ditiru masyarakat.
“Apa yg dilakukan para elite di Semau menjadi preseden yang akan ditiru oleh warga masyarakat NTT, karena para elitenya yang memulai,” kata Kepala Ombudsman Perwakilan NTT Darius Beda Daton, di Kupang, Minggu (29/08/2021) – (Antaranews.com).
Selain oleh Ombudsman, kritik juga datang dari Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman. Armand bahkan meminta pemerintah pusat memberi sanksi kepada para pejabat yang mengikuti kegiatan di Semau itu.
“Khusus terkait kasus kerumunan di Pulau Semau-NTT, KPPOD melihat tindakan gubernur dan para pejabat yang hadir dalam acara tersebut merupakan perbuatan yang tercela, melanggar sumpah jabatan, melawan instruksi Pemerintah Pusat terkait Penanganan pandemi. Ini sudah melanggar Pasal 76 UU No. 23/2014 tentang Pemda, yang melarang Kepala Daerah untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut,” ungkap Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman. (Nusalontar.com 30/08/2021).
Datangnya kritik dan kecaman yang bertubi-tubi bukannya membuat para pejabat itu merasa bersalah dan meminta maaf, tetapi malah membuat mereka bersikap defensif dan membuat pembelaan diri.
Direktur Utama Bank NTT, Alex Riwu Kaho (sebagai salah satu pihak penyelenggara di antara OJK, Pemprov NTT, dan Pemda Kupang) kepada Garda Indonesia pada Minggu siang, 29 Agustus 2021 menegaskan bahwa penerapan protokol kesehatan ketat wajib dan telah diterapkan kepada peserta pengukuhan TPAKD di Pulau Semau. “Semua undangan wajib dites antigen dan difasilitasi panitia (wajib negatif Covid-19, red),” ungkapnya seraya menandaskan bahwa semua izin lengkap, (Gardaindonesia.id, 29/08/2021).
Bela diri juga datang dari Wakil Gubernur NTT, Yosef Nae Soi. Nae Soi berkilah, dia tak mengetahui adanya pesta itu karena pulang lebih dahulu. Gubernur NTT Viktor Laiskodat sendiri diam seribu bahasa.
Sanksi
Adanya pelanggaran prokes di Semau itu membuat banyak pihak juga mendesak agar mereka yang melanggar diberi sanksi.
“Hukum Berat Pejabat NTT”, demikian judul TAJUK RENCANA KOMPAS (30/08/2021). Senada, Direktur KPPOD, Armamd Suparman meminta pemerintah pusat memberi hukuman kepada para kepala daerah yang melanggar prokes.
“KPPOD meminta Pusat untuk tidak sebatas mengaktifkan sanksi administrasi berupa teguran dan/atau penundaan hak-hak keuangan, tetapi lebih pada sanksi pemberhentian dari jabatan sebagai kepala daerah, sebagaimana dimanatkan Pasal 78 Ayat (2) UU PEmda, khususnya point C, E, F bahwa Kepala daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan karena dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, melakukan perbuatan tercela, dan melanggar larangan bagi kepala daerah,” tulis NUSALONTAR.COM (30/08/2021).
Akankah para pejabat itu mendapat hukuman? Rasanya agak mustahil. Jangankan mendapat hukuman administratif, apalagi pidana, teguran saja mungkin tidak. Mereka hanya bisa mendapat hukuman sosial (seperti yang terjadi beberapa hari terakhir ini), juga hukuman politik di musim pemilu nanti. Itu pun jika rakyat tidak lupa dengan kelakuan mereka saat ini.
Apa yang diharapkan oleh rakyat?
Sebetulnya yang diharapkan oleh rakyat sederhana. Pemimpin mestinya jadi contoh, jadi suri teladan, jadi panutan. Dan peristiwa Semau bukanlah contoh yang baik. Ketika rakyat diusir saat berjualan, ada rakyat yang bahkan dihajar oleh petugas karena dianggap melanggar prokes, eh, para pemimpinnya malah melanggar peraturan yang dibuat sendiri.
Rakyat merasa terluka. Hati rakyat tersakiti oleh ulah pemimpinnya. Pemimpin yang telah mereka dudukan di kursi kekuasaan nan megah dan mewah, meski rakyatnya makan sekali satu kali saja masih susah. Pemimpin yang mereka harapkan jadi sandaran dan harapan mereka.
Kini rakyat menanti kebesaran jiwa pemimpinnya untuk meminta maaf. Meminta maaf bukan saja karena telah melakukan kesalahan, tetapi karena mereka adalah pemimpin. Seorang pemimpin harus memberi contoh. Itu etikanya. Kecuali jika mereka hanya merasa diri sebagai penguasa. Jika para pejabat itu merasa diri sebagai penguasa, jangan pernah berharap mereka meminta maaf, karena mereka punya ‘kuasa’ untuk tidak melakukannya.**