PERSPEKTIF – Ketika satu orang diketahui melakukan dosa besar, banyak orang serentak merasa dirinya paling suci.
Semakin intensif kejahatan Ferdi Sambo dinyinyir atau dicaci maki, kita semakin terbenam dalam ilusi yang menyesatkan: merasa paling benar dan paling suci.
Istilah “suci” adalah istilah yg khas agama. Istilah ini dihasilkan dari kesadaran religius bahwa orang-orang berdosa menyebarkan semacam teror etis atau infeksi atas kemurnian seseorang. Karena itu, si pendosa harus dimurnikan kembali, yang dalam Kitab Suci disebut pentahiran.
Pentahiran bukan semata-mata “pemurnian diri si pendosa”, melainkan suatu cara agar si pendosa tidak menginfeksi atau mengkontaminasi kemurnian atau kesucian orang lain. Dengan kata lain, pentahiran adalah pemulihan tatanan. Paradoksnya, semakin seseorang berdosa, kesadaran religius orang lain akan narsisme kesucian dirinya semakin besar.
Di abad pertengahan, Gereja memberi cap di dahi para pendosa, dengan sebuah besi panas. Tujuannya agar orang itu dikenal sebagai pendosa, dan dalam pengenalan ini, orang yg melihat tanda di dahi itu merasa dia berbeda: dia lebih suci dan murni.
Benarkah lebih suci? Tentu saja tidak. Itu hanyalah ilusi yang menyembunyikan ketaksucian kita sendiri. Istilah yang bagus menggambarkan itu adalah kata hipokrisi. Kata hipokrisi berasal dari bahasa Yunani, hupokrasis atau “hupokrinesthai”, yang artinya: “to act on stage” mementaskan sebuah lakon di panggung.
Seorang hipokrit seperti seorang pemain teater. Dia mementaskan apa yang bukan dirinya. Pesona panggung menyembunyikan kasak-kusuk di ruang belakang panggung.
Begitulah gambaran seorang hipokrit. Hipokrit adalah mereka yang mengadvokasi prinsip-prinsip moral, tapi tidak merefleksikan komitmen sejati mereka, dan karena itu cenderung menipu diri mereka sendiri dan orang lain.
Hipokrisi, karena itu, juga disebut self deception. Seorang hipokrit adalah seorang yang berada pada dua diri: imagined self dan real self.
Ketika kita merasa diri paling suci dan benar, kita sebetulnya sedang memainkan imagined self ini. Diri imajinatif ini adalah diri bawah sadar, yang kita impikan, tapi kita anggap seolah-olah itulah kenyataannya. Real self kita sebaliknya: kita semua adalah Sambo-Sambo potensial.
Ada sepenggal syair yang bagus dari Sapardi Djoko Damono, berbunyi begini: “Dalam diri setiap kita, berjaga-jaga/segerombolan serigala”.
Kita adalah korban potensial dari kejahatan. Namun pada saat yang sama, kita juga adalah pelaku potensial dari kejahatan. Dalam diri setiap kita, berjaga-jaga segerombolan serigala.
Tak ada kisah yang lebih inspiratif untuk menyadarkan kita akan hipokrisi kita selain kisah Yesus mengampuni Maria Magdelena, seorang pelacur, dalam Kitab suci.
Suatu siang, perempuan itu kedapatan sedang berbuat zinah. Begitu pengakuan para imam Yahudi yang menangkap Maria Magdalena dan menghadapkannya pada Yesus. Yesus berkata: “Barang siapa di antara kalian yang tidak berdosa, hendaklah dia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini”. Tak seorangpun yang berani mengambil batu. Satu per satu pergi mulai dari yang tertua.
Kita merindukan masyarakat hukum yang adil. Tapi kita juga merindukan masyarakat yang jujur dengan dirinya sendiri, masyarakat yang tak mudah menghakimi, masyarakat yang berani mengampuni dan mendoakan orang-orang yang melakukan kejahatan. Bukan karena merasa diri paling suci melainkan karena kesadaran bahwa kita juga menjadi pelaku potensial kejahatan yang sama.**
Oleh: Peter Tan