Tak Sebatas Digital (Refleksi 74 Tahun Koperasi di Indonesia)

Ilustrasi

Perspektif – NusaLontar.com

Pada tanggal 12 Juli kita memperingati Hari Koperasi Nasional. Tahun ini usia koperasi memasuki 74 tahun, sejak Kongres I di Tasikmalaya, 1947.

Bacaan Lainnya

Setiap kali merayakan Harkopnas, kita selalu meneguhkan harapan baru. Sambil berupaya, seluruh elemen menggerakkan koperasi menuju perubahan yang lebih optimal. Kita berharap pengelolaan koperasi lebih profesional demi kesejahteraan bersama.

Tahun ini, Harkopnas mengusung tema menuju koperasi digital. Bahkan, pada 2024 diharapkan semua koperasi “go digital”. Tanpa “tanggung-tanggung”, Pemerintah NTT pun mendorong 1.000 koperasi ber-digital pada 2021 ini. Sebuah harapan yang sangat ambisius.

Jumlah koperasi aktif di NTT 2.808, hampir sebagian besar jenis Simpan Pinjam (KSP). Ada pun kriteria koperasi aktif adalah menyelenggarakan RAT tiga tahun terakhir berturut-turut.

Bagi saya-yang lama berkecimpung dalam gerakan koperasi, mendorong digitalisasi adalah pilihan sulit. Sebab, transformasi digitalisasi koperasi tanpa memperkuat sumber daya manusia seperti pungguk merindukan bulan.

Ingat, “digital transformation is not about technology” -digitalisasi bukan soal teknologi. Digitalisasi melampaui “digital adoption”. Lebih dari itu, kultur dan paradigma masyarakat akan pentingnya berkoperasi menjadi prioritas utama. Pemerintah mesti menjadi “role model”-nya, baik dalam kebijakan maupun kampanye masif.

Faktanya, berbagai kebijakan pemerintah justru mengikis kepercayaan masyarakat akan berkoperasi, menganaktirikan koperasi, dan menganakemaskan lembaga keuangan lain. Lembaga keuangan berplat merah mendapat privilese, antara lain: pemberian subsidi suku bunga, jaminan kredit macet (melalui PT Jamkrindo dan PT Askrindo), lembaga penjamin simpanan, dan dana talangan (bail-out).

Kebijakan ini, selain mematikan koperasi, turut meninabobokan bankir. Dan, koperasi dapat apa? Dibanggakan sebagai pilar ekonomi kerakyatan, namun pajak kian memangsa. Dirayakan setiap tahun, tapi tidak lebih dari sekedar hajatan umbar janji.

Bukan apa-apa, “go digital” bukan solusi utama. Beberapa koperasi yang sudah menggunakan pelayanan digital masih terantuk pada batu kebijakan yang sama. Koperasi akan sulit berkembang, bahkan mati, bila kebijakan yang tak berpihak belum disingkirkan.**

 

Roman Rendusara     

(Redaktur Istimewa)

 

 

 

Pos terkait